kanstruktur penguasaan tanah yang kondusif untuk membangun sistem usaha pertanian tangguh. Secara teoritis, lahirnya Tap tersebut persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang Iuasnya hanya 6,9 persen dari luas daratan Indonesia. Pada tahun 2000 kepadatan pen- rapan Menurut Kelompok Pemilikan Sawah di Daerah Pesawahan DAS Brantas, 1999/ Akantetapi, munculnya sistem irigasi ini tidak dapat dilepaskan dengan latar belakang sejarah di Pulau Jawa, khususnya sejarah Jawa Timur. Berdasarkan beberapa peninggalan prasasti yang terdapat masa kerajaan-kerajaan di jawa Timur membuktikan bahwa pertanian sawah merupakan matapencaharian yang penting. Khususnyadi wilayah pedesan di luar Jawa, tanah ini diakui oleh hukum Adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah. Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat, tanah milik bersama masyarakat Adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal di dalam sistem pemilikan komunal. DANPEMILIKAN TANAH DI PRIANGAN ABAD KE-19 Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada keresidenan lain di Pulau Jawa. Jumlah Tanahsawah terluas di Pulau Jawa berada di Jawa Timur mencapai 1.084.278 hektar, diikuti Jawa Tengah seluas 1.064.776 hektar, kemudian Jawa Barat Sistem tenurial dan pemilikan tanah; (iv) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk di dalamnya intervensi negara terhadap cara membuat kue lapis tepung beras rose brand takaran gelas. The dualism of national land law appears before the formation of the agrarian law through the Basic Agrarian Law BAL, has not been fully terminated. Various opportunities or legal vacuum still encountered, especially in relation to the provision of rights to land based on adat law. Pekulen land derived from adat law with communal characteristics/ joint ownership and land tenure in rotation, in fact is still exist in rural Java. Its posision became an important element in the village agrarian structure has the potential to make agrarian justice through policies at the local hukum tanah nasional yang muncul sebelum terbentuknya hukum agraria melalui UUPA, belum sepenuhnya dapat diakhiri. Berbagai peluang atau kekosongan hukum masih ditemui terutama dalam kaitannya pengaturan hak atas tanah yang berdasar pada hukum adat. Tanah pekulen yang bersumber dari hukum adat dengan karakteristik komunal/ pemilikan bersama serta penguasaannya secara bergilir, pada kenyataannya masih ada di wilayah pedesaan di Jawa. Kedudukannya menjadi unsur penting dalam struktur agraria desa karena berpotensi menjadi sarana pencipta keadilan agraria melalui kebijakan di tingkat lokal. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 466 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481* dan Sulastriyono**Sekolah Tinggi Pertanahan NasionalJalan Tata Bumi Nomor 5 Banyuraden Gamping, Sleman, Yogyakarta 55293Departemen Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,YogyakartaJalan Sosio Yustisia Nomor 1 Bulaksumur, Sleman DI Yogyakarta 55281AbstractThe assigned of UUPA as national agrarian law has not ended the legal dualism land in Indonesia. Various opportunity or legal vacumm still be met especially in arrangement of land right based on customary law. This article want to know how is pekulen land positions in the structure of agrarian laws in Java? The analysis in this paper are based on the normative assessment. This paper found that pekulen land derived from customary law to be converted into the right of ownership or rights of use. However the conversion of rotating pekulen rights must be based on the original characteristics that are communal. This communal character needs legitimacy and further arrangements given the limited of existing land agrarian law, pekulen land, costumary law. IntisariDitetapkannya UUPA sebagai hukum agraria nasional belum mengakhiri dualisme hukum tanah di Indonesia. Berbagai peluang atau kekosongan hukum masih ditemui terutama dalam kaitannya pengaturan hak atas tanah yang berdasar pada hukum adat. Artikel ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana kedudukan tanah pekulen dalam struktur hukum agraria di Jawa? Analisis dalam tulisan ini didasarkan pada kajian normatif. Kesimpulannya tanah pekulen yang bersumber dari hukum adat haruslah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut UUPA yaitu hak milik atau hak pakai. Meskipun demikian konversi hak pekulen bergilir harus didasarkan pada karakteristik asli hak pekulen yang bersifat komunal. Watak komunal ini memerlukan legitimasi dan pengaturan lebih lanjut mengingat masih terbatasnya ketentuan hukum yang Kunci hukum agraria, tanah pekulen, hukum adat. * Alamat korespondensi widhianapuri Alamat korespondensi sulastriyono MuatanA. Pendahuluan ...................................................................................................................................... 467B. Pembahasan ...................................................................................................................................... 4681. Pengertian Tanah Pekulen dan Persebarannya ............................................................................. 4682. Sejarah Penguasaan Tanah Pekulen dan Dinamika Masyarakat .................................................. 4703. Sejarah Penguasaan Tanah Pekulen dan Dinamika Masyarakat .................................................. 472C. Penutup ............................................................................................................................................. 479TANAH PEKULEN DALAM STRUKTUR HUKUM AGRARIA DI JAWAWidhiana H. Puri 467Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di JawaA. PendahuluanHukum adat sebagai hukum yang bersumber dari masyarakat Indonesia menjadi jiwa dan ruh dalam pengaturan Agraria di Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA, secara jelas menyebutkan hukum agraria Indonesia berdasar hukum adat yang bersifat komunalistik religius. Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang diliputi suasana Konsep komunalistik religius memungkinkan penguasaan bagian tanah bersama sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dengan hak yang bersifat perorangan atas tanah. Dapat dikatakan bahwa hak individual terdapat pada sebagian tanah bersama yang mengalami penguatan seiring perkembangan hukum adat dengan konsep “komunal” dan “individual” atas tanah masih hidup lestari dalam wilayah Indonesia. Sering dijumpai berbagai peraturan terkait penguasaan tanah yang berbasis hukum adat, seperti tanah gogolan, tanah pekulen, tanah yasan, dan sebagainya. Nilai-nilai komunalistik yang menjadi karakter tanah adat masih kuat dirasakan bahkan ditengah semakin individualisnya penguasaan tanah dalam UUPA yang beraspek perdata, contohnya tanah pekulen. Tanah pekulen berkembang di Jawa khususnya Karesidenan Kedu termasuk di Desa Ngandagan Kab. Daya tariknya adalah terbentuknya struktur agraria baru akibat kebijakan yang diambil oleh Kepala Desa di tahun 1947-1964 yang bernama Soemotirto dengan tujuan pemerataan dan keadilan. Kebijakan ini berawal dari sawah komunal milik desa yang dipecah-pecah dalam unit kulian masing-masing seluas 300 tiga ratus ubin dengan 1 ubin sama dengan 14 m2 pada masa pemerintahan Belanda dalam rangka memenuhi kebutuhan komoditas pertanian dan membagi beban wajib Pemecahan sawah komunal desa ini menghasilkan tanah pekulen yang tersebar di Pulau Jawa khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tanah pekulen adalah sawah komunal desa yang pemanfaatannya dibagi-bagi kepada sejumlah petani penduduk inti baik secara tetap maupun secara giliran Penyebutan milik desa di sini bukan dalam arti sebagai pemilik sesuai ketentuan yuridis, namun lebih pada otoritas yang memiliki kuasa untuk mengatur dan menentukan alokasi penggarap atas tanah sawah tersebut. Pemegang kuasa atas tanah ini disebut kulian atau kuli baku. Keistimewaan Desa Ngandaganyaitu karena ada sifat bergilir di atas tanah pekulen tetap. Setiap kuli baku, diberi hak garap atas satu atau lebih unit kulian tergantung dari kontribusi yang mampu diberikan kepada desa. Memudarnya sistem tanah komunal di Ngandagan menyebabkan tanah pekulen ini kemudian dimiliki secara perseorangan dan turun temurun oleh kuli Atas inisiatif kepala desa, desa mengambil 90 sembilan puluh ubin untuk diberikan kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah untuk dikelola secara bergantian dengan menjadi buruh kuli pada tanah Seluruh luasan tanah pekulen ini telah dilengkapi dengan letter C dan dibebani dengan Pajak Bumi Dan Bangunan PBB yang harus ditanggung oleh kuli baku meskipun sebagian darinya digarap oleh buruh kulian. Sistem ini masih bertahan hingga sekarang, bahkan mengalami dinamika seiring 1 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. Hal ini menghasilkan tanah kulian, yaitu bidang-bidang tanah yang merupakan persilisasi dari tanah komunal desa. 3 Ibid. hlm. Moh. Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luth, hlm. 42. Secara umum, tanah di desa-desa Jawa pada masa lampau di bagi menjadi 3 yaitu tanah yasan yaitu tanah milik pribadi yang hak kepemilikan atasnya berasal dari kenyataan bahwa pemiliknya atau nenek moyangnya adalah orang yang pertama kali membuka tanah dari hutan. Kedua, adalah tanah pekulen, dan ketiga adalah tanah bengkok yaitu tanah sawah milik desa yang diperuntukkan bagi para pamong desa sebagai “gaji” selama mereka menduduki jabatan pamong itu. Tanah pekulen dalam perkembangannya menunjukkan kontrol desa kian melemah dan hak warga desa yang menguasai bidang tanah semakin kuat serupa dengan hak milik penuh yasan. Istilah pekulen merupakan penyebutan lain untuk gogolan, sedangkan sikep merupakan nama lain untuk kuli Hal ini menghasilkan tanah kulian, yaitu bidang-bidang tanah yang merupakan persilisasi dari tanah komunal desa. 6 Tanah ini disebut dengan buruhan. Yaitu petak sawah yang berasal dari sawah kulian yang disisihkan oleh pemegangnya untuk diberikan sebagai hak garap kepada petani tak bertanah. Hal ini menimbulkan hubungan patron-klien antara penggarap dan kuli baku. 468 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481perkembangan zaman. Keberadaan tanah pekulen ini menarik dikaji pada masa kini. Hal ini karena secara de jure UUPA telah memberikan rambu-rambu, namun secara de facto masih sulit untuk diimplementasikan dengan melihat karakter tanah ini. Meskipun secara formal jenis tanah ini belum sepenuhnya dapat diintegrasikan dalam pola penguasaan hak atas tanah hukum nasional, namun pada kenyataannya tanah ini menjadi penyumbang kesejahteraan bagi masyarakat desa dan di sisi lain menyumbang konik agraria karena kepastian hukum yang sulit ketika legalisasi tanah pekulen sulit dilakukan, maka terjadi saling klaim pemilikan tanah yang berujung status quo. Kondisi ini menghambat kegiatan pembangunan karena tidak jelasnya status hak atas tanah. Hal ini semakin rumit dengan lahirnya Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu yang seakan menyamakan tanah ulayat dan tanah karakteristik penamaan tanah ulayat dan tanah komunal untuk Jawa dan luar Jawa memiliki perbedaan. Sistem pengaturan tanah ulayat selama ini mensyaratkan adanya entitas masyarakat hukum adat dengan pengakuannya oleh negara, sedangkan di Jawa hal ini tidak selalu ada. Bagaimanakah pengaturan tanah pekulen dalam struktur hukum agraria nasional? Hal ini akan sangat bergantung dari karakteristik tanah serta norma hukum yang dijadikan standar negara. Keadaan kekosongan hukum yang ada memerlukan kajian mengingat bahwa untuk membentuk hukum tergantung arah kebijakan politik negara, sistem nilai masyarakat, serta berbagai aspek lain yang melingkupinya termasuk peluang regulasi yang ada. Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini bermaksud menampilkan keberadaan tanah pekulen dalam struktur hukum agraria di Pembahasan1. Pengertian Tanah Pekulen dan Persebaran-nyaDiskursus mengenai konsep hak atas tanah menurut hukum adat secara tidak langsung berkaitan dengan lingkungan geogras dan adat daerah yang sangat heterogen di Indonesia. Hal ini mengakibatkan penyebutan berbeda satu dengan daerah lain meskipun memiliki esensi yang sama, termasuk tanah pekulen atau yang sering disebut sanggan, kulen atau gogol. Menurut Moedjiono dalam BF. Sihombing, tanah pekulen adalah gaji pegawai berupa tanah yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yang bukan pejabat Hal ini terjadi pada zaman kolonial sebagai penghargaan dari pemerintah kepada warga masyarakat yang berjasa. Pengertian ini mengarah pada konsep tanah pekulen sebagai modal untuk memenuhi kewajiban tanam paksa maupun pembayaran pajak dalam konsep cultuurstelsel yang melahirkan komunalisme tanah yang berpusat di desa-desa Jawa oleh Belanda. Faktanya bahwa justru Belanda memanfaatkan keberadaan pertanian di desa untuk diakui sepihak sebagai milik pemerintah berdasar asas domein verklaring. Denisi gaji pegawai lekat dengan pengertian tanah bengkok yang ada dalam struktur agraria pedesaan Billah dalam Sediono menyebutkan bahwa tanah pekulen adalah tanah milik individu yang tidak dapat dijual kepada orang dari desa lain karena ada hak-hak tertentu dari desa atas tanah Hak tersebut antara lain berupa larangan menjualnya kepada warga di luar desa. Pendapat lain menyebutkan bahwa tanah pekulen adalah sawah komunal milik desa yang diberikan kepada penduduk inti Berbagai pendapat tersebut memiliki konsep dasar yang sama yaitu adanya 7 Mudjiono dalam BF Sihombing, 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko Gunung Agung, Jakarta, hlm. Ranneft dalam M. Billah, et al., 2008, Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa Pada Abad XIX dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. Moh. Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luth, 469Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di Jawasifat komunal dari desa baik yang bersifat langsung pengaturan peruntukan dan pengawasan langsung oleh desa maupun tidak langsung desa hanya mengawasi penggunaannya oleh individu warga.Istilah kuli di wilayah Bagelen Purworejo berasal dari bahasa sansekerta yang berarti petani, bukan kuli koeli dalam arti buruh yang diserap dari terminologi sejarah perkebunan perusahaan Belanda di Indonesia Sumatera timur. Di luar wilayah Bagelen, istilah kuli sebagai penggarap tanah juga dikenal. Kuli sama dengan gogol atau sikep yakni pihak yang diberi kuasa atas tanah Gogol/sikep/kuli di desa adalah golongan anggota masyarakat yang melaksanakan tugas gawe desa tugas-tugas sosial dalam pemerintahan desa.Tugas tersebut berupa rapat-rapat desa, jaga malam, gotong royong, penanggulangan kebakaran, banjir, serta bencana alam lain dan bentuk partisipasi Para gogol/sikep/kuli inilah yang memiliki kewajiban-kewajiban utama terhadap desa, mes-kipun dalam kenyataannya hal tersebut dapat dise-rahkan pada para penggarap/ buruhnya. Hal ini sejalan dengan pembagian warga masyarakat desa oleh vanVollenhoven yang menempatkan kuligogol, sikep, atau kuli kenceng sebagai golongan penduduk secara langsung berpe ngaruh terhadap status penguasaan tanah Pertama, tanah yasan, yasa/yoso, tanah dimana hak seseorang berasal dari kenyataan bahwa ia/ leluhurnya yang pertama membuka/mengerjakan tanah. Tanah ini oleh UUPA dikonversi menjadi hak milik. Kedua, tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan, adalah tanah pertanian milik bersama yang darinya para warga dapat memperoleh bagian untuk digarap baik secara bergilir atau tetap dengan syarat tertentu. Persyaratan tersebut meliputi sudah kawin, punya rumah dan pekarangan, dan kerja wajib desa. Konsep hukum barat meletak kan dalam kategori tanah komunal. UUPA mengkon-versi hak atas tanah ini menjadi hak milik bagi penggarapnya yang terakhir. Ketiga, tanah titisara, bondo desa, kas desa yaitu tanah milik desa yang biasanya disewakan, disakapkan dengan cara dilelang sedangkan hasilnya untuk anggaran rutin atau pemeliharaan desa. Keempat, tanah bengkok, tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa terutama lurah dan hasilnya dianggap gaji selama menduduki jabatan. Tanah pekulen adalah jenis tanah adat yang memiliki karakter komunalistik yang melekat pada kewenangan desa. Jenis tanah ini memiliki penamaan yang tidak sama tergantung masing-masing wilayah. Ciri utama sekaligus pembedanya adalah sifat tanah yang dikelola oleh desa dan hak garapnya ada pada warga desa baik secara tetap maupun digilir. Berikut ini beberapa istilah untuk sawah komunal Devy Dhian Cahyati, 2014, Konik Agraria Di Urutsewu, Pendekatan Ekologi Politik, STPN Press, Yogyakarta, hlm. Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm. M. Billah, et al., Loc. Gunawan Wiradi, 2008, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa,” Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 1. Istilah Sawah Komunal Di Berbagai DaerahDaerah Istilah sawah komunal Istilah penggarap/ yang melakukan kerja wajibIstilah tanah garapan yang digilirkanCirebon Sawah desa Sikep, kuren tani, tani laku gawe, cekel gawe, jalma pegang sawah, tani buku, cacahBagian carik, lakonangaweTegal Playangan. Bumen-bumen, sawah desaKuli, janggol, kerik sikep Bakonkuli, janggolan, bagian, bagian janggol, bagian carikBanyumas Playangan, prutahan, sawah kuwu, lanyahKuli, kerik Bagi, bagian, catonPekalongan Playangan, sawah desa, sawah sangganSikep Bagian, sikep 470 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481Secara khusus, persebaran desa yang mem-punyai tanah norowito/gogolan/kesikepan/pekulen belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa literaturmenyebut berada di daerah areal tebu, padi, dan nila yang terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan di Jawa Barat. Desa-desa di Jawa Barat sebagai penghasil kopi relatif bersifat individual dengan kontur dataran tinggi daripada sifat komunal yang dimiliki desa di Jawa Tengah dan Jawa Beberapa daerah lainnya seperti Bagelen di Karesidenan Kedu Purworejo, Kebumen, Temanggung, Wonosobo, dan Magelang, Tegal, Probolinggo dan beberapa daerah lain termasuk di Sidoarjo juga mengenal tanah gogolan/pekulen yang menarik dilakukan bagi masyarakat desa menjadi faktor produksi/ modal. Pemilikan dan penguasaan tanah menjadi simbol status dan sumber kesejahteraan. Meskipun demikian faktanya tanah pekulen individual tetap terjaga kebersamaannya melalui pengakuan adanya kewenangan yang dimiliki oleh desa. Hal ini sejalan dengan pendapat A. Sonny Keraf dan kaum Stoasebagaimana diacu oleh Kurnia Warman bahwa ciri atau ukuran utama adanya kepemilikan bersama co-ownership adalah adanya kesatuan yang tidak terpisahkan dari benda atau hak yang menjadi milik bersama itu. Kepemilikan bersama erat hubungannya dengan pencapaian keadilan karena sasarannya adalah keharmonisan, keserasian, dan keutuhan Sejarah Penguasaan Tanah Pekulen dan Dinamika MasyarakatTanah di Indonesia mengalami penataan dan pengaturannya pasca lahirnya UUPA tahun 1960. UU ini mengakhiri dualisme hukum agraria yang bersumber atas hukum barat dan hukum adat. Penerapan hukum agraria nasional menetapkan adanya konversi terhadap hak atas tanah yang bersumber dari hukum barat dan hukum adat menjadi hak atas tanah menurut hukum tanah sudah terjadi dengan berdasar alur sejarah yang bersesuaian dengan daerah masing-masing di Indonesia. Secara garis besar, konsep penguasaan tanah masa lalu merupakan dasar dan cikal bakal status hak atas tanah pada masa kini. Konsep ini tidak hanya bersumber dari hukum adat yang memang berkonsepsi komunalistik religius, namun ternyata juga berasal dari hukum barat yang Bagelen Sanggan, lanyah, baku, sawah desaKuli, kerik Bagian, sanggan, kulenSemarang Wong tani, sikep Bangku, sanggemanJepara Sawah desa, bumi, kebumen, norowito, sewanWong tani, wong kenceng, sikep, gogolBagian, sanggeman, bangkuRembang Krajan, jung, bakon, kramanan, ideran, baratan, auman, bagenKraman kenceng, gogol, sikep, kuli kencengBangku, selakon, bakonkuli, kramanan, kulen, bagenMadiun Rojo Kuli kenceng Kulen, bangku, bagian, selupit, sekencengajangan, sepangkonsangganKediri Kongsen, lanyah Kuli kenceng Kulen, catu, anjangan, bangkuSurabaya Sawah desa, lanyah, kongsen Gogol, kraman Caton, kramanan, catuPasuruan Lanyah, kongsen, kramanan, sawah duweke wong akeh, sawah desa, negoro, rojoGogol, gogol sawah, wong tani BagianProbolinggo Wong kenceng, orang kencengMadura Oring kuat, taniSumber Hiroyashi Kano,14 Hiroyoshi Kano, 2008, Sistem Pemilikan Tanah Dan Masyarakat Desa Di Jawa Pada Abad XIX Dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa,” Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. Gunawan Wiradi, Op. cit., hlm. Kurnia Warman, 2006, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik, Penyimpangan Konversi Hak Tanah di Sumatera Barat, Andalas University Press, Padang, hlm. 28-31. 471Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di Jawaberkonsepsi individualistik menunjukkan bahwa terdapat per bedaan pendapat mengenai sejarah lahirnya tanah komunal di Indonesia. Pendapat pertama menye butkan bahwa sistem tanah komunal timbul sebagai akibat adanya perubahan sistem yang dilaksanakan oleh para raja dan pemerintah komunal atas tanah bukan asli dari masyarakat Indonesia namun bersifat artisial atau buatan. Hal ini didasari pada fakta bahwa sebelum pemerintah Belanda ada di Indonesia, desa-desa tidak membentuk suatu masyarakat dengan batas geogras yang jelas, sehingga penentuan garis batas dan pembentukan wilayah afronding merupakan hasil pemerintah Keberadaan desa-desa inilah yang menjadi tumpuan cultuurstelsel tanam paksa pada abad XIX yaitu periode 1830-1870 yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini bertujuanuntuk membuat Jawa menjadi tanah jajahan yang menguntungkan melalui penarikan dan sistem pajak tanah. Kebijakan yang diambil dalam rangka pengorganisasian tanah yaitu dengan menyerahkan pengelolaan semua tanah baik pendistribusian, penggunaan, dan penyerahan hasil bumi dalam koordinasi desa. Akibat kebijakan ini pemilikan tanah justru menjadi beban karena adanya wajib kerja bagi para penggarap tanah yang sangat besar. Penggarapan tanah justru menjadi beban yang mendorong untuk pendistribusian tanah untuk ditanggung bersama dengan warga desa lain. Pembagian kembali tanah-tanah garapan antara para warga desa secara komunal yang teratur dan berkala dilakukan sebagai tindak lanjutnya. Proses ini didorong pemerintah kolonial karena pengawasan terhadap komoditas tanaman dan penggunaan sarana pengairan dianggap lebih esien dan mudah jika dilakukan dengan gabungan petak sawah daripada persil terpisah. Pendapat kedua menyebutkan, baik sistem pribadi maupun komunal merupakan bentuk asli yang ada sejak Hal ini didasari konsepsi komunalistrik religius yang menjadi karakter asli masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat memang telah terbagi dalam mengelola tanahnya baik tanah pribadi yang dimiliki sendiri maupun tanah bersama yang berada dalam pengawasan di wilayah kerajaan vorsten-landen seperti Yogyakarta dan Surakarta meng-gunakan sistem apanage lungguh dimana raja merupakan pemilik semua tanah di wilayah kerajaan dan memberi gaji para abdi dalem dan priyayi dengan tanah lungguh atau tanah bengkok. Kekuasaan sultan absolut atas tanah di wilayah kerajaannya, sedangkan rakyat kawula dalem hanya diperkenankan menempati sebagian tanah. Rakyat memiliki hak anggadhuh dengan status turun temurun. Status sultan ini sebagaimana bunyi Pasal 1 Rijksbladvan Sultanaat Djogjakarta No. 16 Tahun 1918 Sakabehing bumi kang ora ana yektine kadarbe ing liyan mawa wewenange gendom dadi bumi kagungane keraton ingsun reorganisasi tanah di keraton Yogyakarta Tahun 1917 yang dimulai dengan penghapusan sistem apanage, tanah diserahkan pengelolaannya kepada kalurahan. Tanah menjadi milik komunal warga kampung dengan status hak pakai gebruiksrechten. Selain lahirnya Hak pakai secara turun temurun erfelijkgebruiksrechten, pada tahun 1925 Sultan memberikan tanah kepada warga masyarakat dengan hak milik pribadi. Ada sebagian penduduk yang memperoleh hak pakai dari kelurahan dan ada sebagian golongan yang diberikan hak milik andarbeni.21 Tanah di Indonesia bukan hanya merupakan suatu lingkungan jurisprudensi 17 Boedi Harsono, Op. cit., hlm. Hiroyoshi Kano, Op. cit., hlm. M. Billah, et al., Loc. Artinya segala tanah yang tidak ada bukti kepunyaan orang lain dengan kekuasaan eigendom menjadi tanah milik Keraton Yogyakarta. Lihat dalam Nur Aini Setiawati, 2011, Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat Pola Pemilikan, Penguasaan, Dan Sengketa Tanah Di Kota Yogyakarta Setelah Reorganisasi 1917, STPN Press dan Sains, Yogyakarta, hlm. Ibid., hlm. 119. 472 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481pada taraf lokal melainkan adat kebiasaan yang mengatur seluruh hubungan antara penggarap tanah dengan negara yaitu berbeda dikemukakan oleh van Vollenhoven yang secara lugas menyebutkan bahwa ada banyak jenis hak adat menurut hukum adat Jawa yang berlaku bahkan jauh sebelum Belanda datang, yang kemudian oleh pemerintah dibagi menjadi 3 jenis penguasaan tanah yaitu erfelijktindividueelbezit atau hak milik pribumi yang dapat diwariskan, communalbezit atau hak milik komunal, dan gebruiksaandelen in communaalbezit atau hak milik komunal dengan pemakaian secara Selain itu disebutkan juga bahwa seluruh daerah Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk daerah Vorstenlanden Kedu24, Surakarta, dan Yogyakarta memiliki jenis tanah komunal yang merupakan bagian tanah ulayat desa. Hal ini sekaligus menolak doktrin domein raja bahwa semua tanah adalah milik raja. Tanah ulayat desa ada terlebih dahulu sebelum dipenetrasi dengan absolutisme sederhana berikut ditampilkan perbedaan antara tanah komunal dan tanah perorangan/ Svein Aass, 2008, Relevansi Teori Makro Chayanov dalam Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. Cornelis vanVollenhoven, 2013, Orang Indonesia dan Tanahnya, STPN Press, Yogyakarta, Hlm Lihat Cornelis vanVollenhoven, Ibid., hlm. 17. Dalam catatan sejarah wilayah Kedu termasuk dalam Vorstenlanden yang kemudian oleh Sultan diberikan kepada pemerintah Belanda sebagai imbalan jasa karena membantu menumpas 2. Perbedaan Karakteristik Tanah Komunal dan Tanah PeroranganNo Karakter Tanah Individual Tanah Komunal1. Pemilikan Pemilik tanah adalah perseorangan Pemilik tanah adalah seluruh masyarakat desa2. Penguasaan Penguasaan secara pribadi Penguasaan secara bersama-sama3. Peruntukan/ penggunaanBiasanya untuk rumah , pekarangan, sawah, serta untuk sawah desa, tanah penggembalaan, kebun, dan perumahan Pengawasan desa Memastikan dilakukan penguasaan secara nyata dan efektif oleh pemilik. Dapat ditarik jika tidak berwenang mengatur dan menentukan penguasaan, peruntukan, dan Peralihan Dapat dialihkanoleh pemilik, namun tidak boleh kepada orang di luar desa. Jika pemilik meninggal dunia/ meninggalkan desa, desa akan mengambil dan menyerahkan kepada orang lainWarga desa hanya berhak menggarap, tidak boleh dialihkan kepada orang lain6. Kewajiban ke desaTidak ada Wajib melakukan kerja ke desa kerigan baik kerja bakti, ronda malam, Olahan Penulis, Sejarah Penguasaan Tanah Pekulen dan Dinamika MasyarakatPerubahan dan perkembangan zaman merupakan hal yang alami. Transformasi masyarakat dari bersifat sederhana menuju masyarakat yang kompleks senantiasa terjadi dalam kaitannya dengan perubahan politik, ekonomi, sosial, bahkan hukum, seperti konsep hak atas tanah berdasarkan pada hukum adat. Konsep ini bersifat tidak tertulis, sehingga eksistensinya rentan dan mengalami perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh ikatan yang ada dari masyarakat desa sebagai lingkungan agraria merupakan sebaran atau distribusi penguasaan formal dan penguasaan operasional serta alokasi pembentukan sumber-sumber agraria yang memiliki relasi satu sama lain. Komponen utama dalam struktur agraria yaitu pemilikan, penguasaan, dan peruntukan atau penggunaan sumber agraria oleh subjek agraria yaitu pemerintah sebagai pemegang kekuasaan 473Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di Jawaformal, petani, dan pengusaha atau Pemilikan mengarah pada hubungan subjek dan objek yang diformalkan dalam sebuah hubungan hukum yang kuat. Fitzgerald dalam Kurnia mengemukakan ciri pemilikan, pertama, pemilik memiliki hak untuk memiliki barangnya. Kedua, pemilik biasanya mempunyai hak untuk menggunakan dan menikmati barang yang dimilikinya yang pada dasarnya merupakan kemerdekaan bagi pemilik untuk berbuat terhadap barangnya. Ketiga, pemilik mem-punyai hak untuk menghabiskan, merusak, mengalihkan barangnya kepada orang lain. Keempat, Pemilikan mempunyai ciri tidak mengenal jangka waktu, berlaku selamanya. Kelima, pemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa dan tak terbatas. Tanah mungkin digadaikan, dibagikan dan lain-lain, namun pemilik masih memiliki tanah yang ada. Hak tadi menumpang di atas hak milik yang asli/ ius in milik sangat kuat, namun tetap harus berfungsi sosial, yaitu agar barang tidak dimonopoli oleh pemiliknya, namun harus memberi faedah bagi kehidupan masyarakat fungsi sosial sebagaimana falsafah Pancasila yang menggambarkan manusia sebagai makhluk dwi tunggal baik sebagai manusia pribadi maupun makhluk etimologi, penguasaan berasal dari kata “kuasa” yang berarti kemampuan atau kesanggupan berbuat sesuatu, kekuatan atau kewenangan atas sesua tu atau untuk menentukan memerintah, mewa kili, mengurus, dan sebagainya sesuatu itu. Jadi menurut bahasa, penguasaan atas tanah dapat diar tikan sebagai proses, cara atau perbuatan untuk menguasai sebidang tanah yang berisikan wewe-nang dan kesanggupan dalam menggunakan dan memanfaatkannya untuk kelangsungan Penguasaan harus secara faktual dalam dan pemanfaatan menunjuk pa-da cara sebidang tanah diusahakan secara langsung, baik untuk usaha pertanian, dan nonpertanian serta pemanfaatan yang beraneka ragam seperti rumah toko ruko, perumahan, sawah, ladang, dan merupakan konkritisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan suatu Masyarakat sebagai subyek pembentuk hukum mengembangkan perangkat aturan dalam rangka menciptakan ketertiban dan keteraturan hidup dengan berdasarkan pada sistem nilai dan adat yang ada, hidup, tumbuh dan berkembang di yang ada tergantung pada sistem nilai dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Pada tataran kenegaraan, hukum harus bersifat nasional sehingga ada berbagai kepentingan dan nilai yang belum terwadahi. Hukum merupakan sistem yang terdiri dari perangkat aturan yang menurut Lawrence M. Friedman yang diacu Esmi Warassih terbagi dalam 3 tiga komponen sistem hukum berupa struktur, substansi, dan Struktur hukum agraria dapat dipahami sebagai kelembagaan yang diciptakan dalam sistem hukum agrarianya dengan berbagai macam fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Pada tataran negara Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam rangka mengemban tugas mewujudkan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran tanah sawah berdasar hukum adat, sangat lekat dengan insitusi desa sebagai unit pemerintahan terkecil dalam sistem desentralisasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengalami dinamika seiring perkembangan zaman. Pada masa lalu desa dibentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja maupun dalam rangka pengelolaan tanah untuk keperluan Belanda dan 25 Gunawan Wiradi, Op. cit., hlm. Kurnia Warman, Op. cit., hlm. Kurnia Warman, Op. cit., hlm. Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, hlm. Ibid., hlm. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2014 denisi Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakar setempat berdasarkan berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 474 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481kerajaan, sekarang desa diharapkan jauh lebih demokratis dan otonom. Sebagai institusi dengan pola sosial dan kehidupan kemasyarakatan yang lebih intensif, maka masyarakat desa dengan basis kehidupan agraris/ pertanian di dunia terbagi dalam beberapa bentuk yang dapat dilihat pada tabel 2 di bawah Hiroyoshi Kano, Op. cit., hlm. Ahmad Nashih Luth, et al., 2013, Kondisi Dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan Di Jawa Tengah Dulu Dan Sekarang, STPN Press, Yogyakarta, hlm. 3. Bentuk Dasar MasyarakatKriteria Bentuk Asia Bentuk Klasik-Antik Bentuk JermanGemeinschaft dasar “suku” tribe atau subbagian-nya“kota” city “masyarakat prajurit”“kampung” village kelompok pemilik tanah yang bertetanggaHausgemeinschaft keluargaKeluarga besar patriarkalKeluarga kecil patriarkal dengan otoritas kuat di tanagn kepala keluargaKeluarga kecil patriarkal dengan otoritas yang melemah ditangan keluargaPrinsip “persamaan” Substantif distribusi mendasar kemampuan dan kebutuhanSubstantif FormalKelaziman pemilikan tanah pribadiHeredium bidang tanah untuk perumahan dan kebunFundus bidang tanah untuk perumahan, kebun, dan sebagian tanah milik umum dan diduduki melalui hak senioritasHufe bidang tanah untuk perumahan, kebun, dan bidang kecil tanah pertanian serta bagian dari milik desaKeterangan Tulisan pada kolom yang ditulis tebal adalah ciri masyarakat pedesaan di Hiroyashi Kano,31 pedesaan di Indonesia identik dengan gambaran bentuk masyarakat pedesaan klasik-antik meskipun bukanlah masyarakat kota. Umumnya terdiri atas keluarga kecil patriarkal dengan kekuasaan yang besar pada kepala keluarga. Kehidupan sosialnya didasari oleh prinsip persamaan yang substantif artinya distribusi didasari kemampuan dan kebutuhan. Pemilikan tanah secara pribadi umumnya digunakan untuk perumahan, kebun, dan sebagian tanah milik umum serta diduduki melalui hak senioritas yang diberikan penguasaan baik formal maupun operasional dari tanah komunal pada tingkal lokal terjadi di Desa Ngandagan, Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo. Tanah pekulen yang telah mengalami penguatan dengan hak individu yang dipengaruhi oleh hak ulayat desa. Desa masih memiliki kewenangan untuk mengatur dan menentukan pemilikan, penguasaan, dan penggunaannya. Atas dasar inilah kemudian lahir istilah tanah pekulen atau kulian tanah milik individu masyarakat yang diperoleh dari desa, dan tanah buruhan bagian tanah pekulen yang diambil oleh desa untuk dibagikan kepada petani yang tidak memiliki tanah. Kebijakan ini mengalami perubahan sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat, yaitu luas tanah pekulen yang dipotong tidak hanya seluas 300 ubin namun kadang lebih sempit karena mengikuti plot tanah sawah yang ada serta tanah buruhan seluas 90 ubin dibagikan untuk 2 rumah tangga dan perkembangan pengelolaan tanah pekulen yang terdiri atas tanah kulian dan buruhan sangat dipengaruhi oleh kontestasi berbagi aktor yang berperan. Baik para kulian, buruh kuli, aparat desa, maupun stakeholder lain masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda. Hiroyoshi Kano menyebutkan ada 3 cara redistribusi tanah oleh desadiantaranya melalui kebijakan yang diinisiasi 475Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di Jawaoleh kepala desa/ institusi Hampir semua pembaharuan agrariadilakukan atas dasar inisiatif pemerintah, sehingga begitu minat pemerintah berubah demi kepentingannya maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh pembaruan agraria. Inisiatif dan kedermawanan pemerintah ini oleh Powelson dan Stockyang disitir oleh Noer Fauzi disebut dengan istilah reformbygrace. Pembaruan ini tidak sustainable karena tergantung pada pasar politik menurut istilah Yushiro Sifat unsustainable ini seringkali membuat sebuah kebijakan khususnya agraria seringkali mengalami pembalikan atau perlawanan bahkan membawa masyarakat menunjukkan kecenderungan yang mengarah pada penguatan hak individu dan tuntutan atas kepastian hukum yang berhadapan dengan kuatnya solidaritas masyarakat dalam mempertahankan hak ulayat desanya. Pola individualisasi ini dapat dibatasi dengan menjaga pola pergiliran pemanfaatan tanah yang memberikan manfaat penguasaan secara individual. Ketidaksepahaman tentang kedudukan dan pengelolaan tanah pekulen ini disebabkan masih belum dicapainya suatu kepastian hukum dalam pengaturannya. Permasalahan yang harus diperhatikan adalah, karakter tanah pekulen khususnya tanah buruhan yang bersifat kolektif yang bertujuan untuk memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat khususnya yang tidak bertanah. Distribusi tanah pekulen yang dilakukan oleh desa secara revolusioner, selain bertujuan untuk pemerataan juga untuk menjaga prinsip-prinsip penguasaan tanah,diantaranya tentang pembatasan pemilikan tanah. Kecenderungan yang terlihat pada akhir tahun 1990-an menunjukkan perubahan dalam struktur agraria, diantaranya pertama dalam hal pemilikan khususnya tanah kulian beberapa sudah beralih kepemilikannya kepada warga desa lain. Padahal ada ketentuan yang melarang peralihan tanah tersebut khususnya kepada orang di luar desa. Kedua, penguasaan tanah khususnya dalam penentuan subyek yang ditunjuk oleh desa untuk mengolah sawah buruhan mulai didasarkan unsur-unsur subyektif desa misalnya tidak semata untuk petani tak bertanah namun juga dalam rangka pengerahan massa untuk keperluan Penguasaan sawah buruhan mengalami perubahan dengan mulai dilakukannya peralihan melalui jual/sewa garap kepada pihak Ketiga, terkait peruntukan atau penggunaannya, terlihat perubahan dalam komoditas pertanian yang ditanam yang awalnya tanaman pertanian dan palawija menjadi tanaman keras seperti jabon atau jati Belanda yang dinilai lebih menguntungkan dan tidak membutuhkan perawatan tanah garapan dari tanah komunal desa pada masa kini dilakukan berdasar prinsip kesamarataan formal, padahal dahulu didasarkan pada prinsip kesamarataan substantif. Kesamarataan substantif berarti disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan, sedangkan kesamarataan formal didorong oleh kesadaran tentang Hak Asasi Manusia HAM dengan prinsip sama rata bagi seluruh warga. Tiap garapan sama luas berdasarkan konsep persamaan hak atas tanah diantara para penggarap tanpa memandang alasan ekonomi misalnya besarnya tenaga kerja, kebutuhan atau kemampuan hasil yang dicapai. Keadaan ini bukan hasil perintah tuan tanah tetapi timbul karena hubungan pengelolaan tanah oleh desa sebagai persekutuan distribusi formal ini memiliki resiko pada tingkat kesejahteraan masyarakat desa yang ada. Tanah garapan seringkali belum mampu menjadi sumber kehidupan dan penghidupan yang 33 Lihat Hiroyoshi Kano, Op. cit., hlm. Noer Fauzi, 2008, “Dari Okupasi Tanah Menuju Pembaruan Agraria Konteks Dan Konsekuensi Dari Serikat Petani Pasundan SPP Di Garut Jawa Barat” Dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. Ibid., hlm. Ahmad Nashih Luth, et al., Op. cit., hlm. Ibid., hlm. 112. 476 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481layak bagi penggarapnya, sehingga distribusi tanah yang ada juga menampakkan wujudnya sebagai distribusi kemiskinan bagi warga. Antropolog Amerika, Clifford Geertz38 melihat adanya hubungan langsung antara cultuurstelsel dengan agricultural involution, suatu sistem produksi sawah yang melibatkan banyak orang. Sifatnya sangat menyerap tenaga kerja dan selalu dapat melibatkan semakin banyak orang tanpa penurunan produksi. Hal itu justru menimbulkan kemelaratan bersama dan akhirnya masing-masing memperoleh bagian yang makin kecil yang tidak mampu menopang kebutuhan hidup tiap kelemahan dan kekurangan dalam pengakuan hak komunal, berfokus pada lemahnya pengakuan hukum yang mampu mewadahi fenomena yang ada. Penulis mencatat bahwa pada masa lalu, pengakuan atas eksistensi lembaga desa sebagai otoritas yang berwenang dalam mengatur keberadaan tanah adat di desa kuat. Subekti menyebutkan beberapa yurisprudensi mahkamah agung mengenai hukum adat terutama terkait adanya kewenangan desa dalam penguasaan tanah melalui hak gogolan dan pekulen, diantaranya39 pertama, putusan Mahkamah Agung MA tanggal 21-6-1958 No. 149 K/Sip/1958 yang memutuskan bahwa Pengadilan Negeri tidak berkuasa merobah atau membatalkan putusan desa mengenai sawah pekulen, kedua putusan tanggal 10-10-1956 No. 32 K/Sip/1956 yang menyatakan menurut hukum adat di desa Sukorejo, Kabupaten Lamongan, tanah gogol bukan tanah yasan hanya dapat dihaki atau dipinjam oleh orang-orang yang berdiam di dalam wilayah desa tersebut. Hal itu sudah selaras dengan sifat hak gogolan sebagai suatu hak yang bersumber pada hak ulayat tersebut hanya dapat diberikan kepada anggota-anggota masyarakat desa itu sendiri dan tidak kepada “orang luar”. Putusan Pengadilan Negeri Lamongan yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung sudah tepat, dan ketiga putusan tanggal 18-10-1958 No. 301 K/Sip/1958. Penunjukan tanah pekulen adalah hak semata-mata dari rapat desa, yang diberikan oleh Hukum Adat. Pengadilan Negeri tidak berhak meninjau tentang benar tidaknya putusan rapat desa tersebut. Putusan rapat desa dalam perkara ini, dapat dipandang sebagai pelaksanaan dari hak penguasaan desa doorpsbeschikkingsrecht, dari dulu dihormati oleh pengadilan, dalam arti tidak boleh dinilai lagi oleh ini belum menjadi dasar yang cukup bagi pemerintah untuk secara tegas dan tepat melakukan pengaturan atas tanah pekulen atau gogol yang sifatnya bergilir ini termasuk memperkuat lembaga desa. Fakta menunjukkan khusus tanah pekulen dan gogol yang bergilir, ketentuan hukum yang ada masih menimbulkan konik karena dianggap kurang tepat oleh masyarakat. Pengaturan hukum khusus mengenai kedua jenis tanah adat ini dapat kita lihat melalui ketentuan Pasal VII Ketentuan Konversi UUPA sebagai berikut1 Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 ayat 1.2 Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada Pasal 41 ayat 1 yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.3 Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang ini membagi hak pekulen/gogolan menurut sifatnya menjadi 2 yaitu tetap dan tidak tetap. Kriteria mengenai pekulen/ gogolan tetap diatur dalam Pasal 20 ayat 2 Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan 38 C. Geertz, 1963, Agricultural Involution The Process Of Ecological Change In Indonesia, University Of California Press, California, hlm. Subekti, 1990, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cetakan ke-4, Alumni, Bandung, hlm. 38-89. 477Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di JawaBeberapa Ketentuan UUPA yaitu bahwa hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah golongan yang sama atau jika meninggal dunia gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu. Pada ayat 4 jika ada perbedaan pendapat antara kepala inspeksi agraria dan Bupati Kepala Daerah tentang apakah sesuatu hak gogolan bersifat tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang bersangkutan berlainan pendapat dengan kedua pejabat tersebut maka soalnya dikemukakan lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat jenis tanah gogolan tidak tetap diatur menurut Keputusan Bersama Menteri Negara Agraria dan Menteri Dalam Negeri Nomor 30/DEPAG/ Kriterianya terdiri dari 3 bentuk, yaitu matok sirah gilir galeng, gogol musiman, dan gogol gilir mati. Secara garis besar, prosedur teknis yang ditempuh dalam rangka konversi meliputi Pertama, untuk menentukan apakah suatu hak gogolan/ pekulen adalah tetap atau bergilir diatur dalam Pasal 20 ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960. Kedua, bupati/ kepala daerah tingkat II dan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan untuk di dalam waktu sesingkat-singkatnya menyelenggarakan penegasan konversi hak gogolan tetap yang ada didaerahnya menjadi hak milik dan hak gogolan tidak tetap dikonversi menjadi hak pakai yang tunduk pada ketentuan UUPA. Ketiga, setelah ada penegasan dari panitia landreform kecamatan/panitia landreform kabupaten maka tanah bekas hak gogol tidak tetap yang telah dikonversi menjadi hak pakai diberikan dengan hak milik oleh kepala kantor wilayah BPN saat ini menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan keempat untuk kemantapan maka keluar Keputusan Bersama Menteri Agraria Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 30/DEPAG/1965. 11/DDN/1965 tanggal 4 mei 1965 tentang Penegasan Konversi Menjadi Hak Pakai Dan Pemberian Hak Milik Atas Tanah Bekas Hak Gogolan Tidak Tetap. Keseluruhan proses konversi tersebut harus dimohon atas inisiatif pemegang hak sesuai ketentuan Peraturan Menteri Pertanian Dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia Atas Tanah. Hak pekulen yang bersumber dari hukum adat baik masyarakat dengan nilai-nilai hukum adat yang masih kuat maupun telah memudar bahkan hilang, memilikiarti penting sebagai bentuk hak tanah. pada kedudukan sebagai hak tanah ini, hak pekulen memiliki sifat yang kuat sebagai turunan dari sifat hak bangsa dalam tata jenjang hak penguasaan atas tanah. pembentukan hukum nasional melalui UUPA mengharuskan adanya konversi dengan maksud tetap mengakui keberadaan hak lama untuk disesuaikan dengan hak atas tanah menurut UUPA. Secara historis dan losos tanah dihormati sebagai sebuah anugerah Tuhan sehingga mengandung unsur religius serta watak kebersamaan dalam sifat komunalistiknya. Kategorisasi/ pembagian jenis hak pekulen menjadi tetap dan bergilir dengan melihat penguasaan dan pemanfaatnya menjadi titik utama dalam menentukan konversinya. Sebagaimana disebutkan di depan bahwa hak pekulen tetap akan dikonversi menjadi hak milik. Secara historis dan losos hal ini sesuai dengan sifatnya penguasaannya yaitu tetap, tidak ada batasan waktu penguasaan, serta dapat diwariskan. Karakter perseorangan/ pribadi ini sesuai dengan sifat hak milik sebagai hak yang terkuat dan terpenuh yang dimiliki seseorang atas tanah. kejelasan dan kepastian akan subyek dan obyek hak terpenuhi secara tepat sehingga secara sosiologis juga mendapat legitimasi dari masyarakat sekitar. Hak pekulen bergilir menurut ketentuan konversi, akan diubah menjadi hak pakai. Secara yuridis normatif, sifat hak pekulen bergilir memang hanya disertai kewenangan untuk memakai/ menggarap tanah saja namun terbatas waktu dan tidak dapat diwariskan. Karakter penguasaan sementara ini menegaskan adanya pihak lain yang lebih memiliki hak penuh atas tanah yang ada. Konversi hak pekulen bergilir menjadi hak pakai terhadap penggarapnya yang terakhir kiranya telah sesuai dengan sisi losos, dan sosiologis yang dimiliki hak tersebut. Yang seringkali menjadi 478 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481pertanyaan bahwa dalam proses konversi hak tersebut, mekanisme yang ditempuh adalah melalui pengajuan hak atas tanah terhadap tanah negara obyek land reform. Prosedur ini sebenarnya kurang tepat, mengingat bahwa konversi hak selayaknya menegaskan adanya pengakuan negara atas hak tanah yang lama dan menyesuaikannya dengan ketentuan jenis dan karakteristik hak tanah yang ada dalam hukum nasional. Bukan dengan memohon hak tanah yang menimbulkan kesan bahwa secara historis tanah yang dimohon tersebut merupakan tanah negara. Hal ini seolah-olah merancukan asal usul dan sumber hak tanah yang ada. Problematika konversi hak pekulen bergilir ini muncul akibat ketidakjelasan subyek tanah asalnya. Secara historis, diketahui bahwa tanah pekulen bergilir ini umumnya berada dalam penguasaan dan pemilikan desa dalam rangka mendorong produkstivitas pertanian dan pengaturan tenaga kerja. Konversi hak pekulen bergilir menjadi hak pakai memunculkan pertanyaan baru, yaitu hak pakai di atas tanah apa? UUPA secara detail tidak menyebutkan sumber tanah yang dilekatinya, namun dalam peraturan pelaksanaannya hak yang ada diterbitkan di atas tanah negara. Padahal kenyataannya, secara de jure dan de facto tanah tersebut berada dalam pemilikan dan penguasaan desa yang kemudian mendelegasikan hak penguasaan dan pemanfaatannya kepada petani penggarap. Hal ini menjadi sulit diterjemahkan mengingat belum diakuinya lembaga desa sebagai subyek hak serta terbatasnya pengaturan tentang tanah komunal/ tanah tentang tanah komunal dalam pengaturan hukum secara eksplisit dapat ditemui dalam Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu yang diganti dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu. Rumusan aturan yang ada memberikan batasan tentang hak komunal dengan kriteria pertama, hanya dimiliki oleh masyarakat adat, kedua seolah-olah merupakan hak atas tanah karena dilengkapi dengan alat bukti berupa sertikat sementara UUPA tidak mengatur hak komunal sebagai suatu hak atas tanah, ketiga pengaturan tentang hak komunal hanya terbatas pada wilayah kawasan tertentu yaitu hutan dan perkebunan. Ketentuan ini juga telah menghapus keberadaan hak ulayat yang diatur dalam Pasal 5 UUPA. Maria SW Sumardjono menekankan bahwa hak komunal tidak dapat dipersamakan dengan hak ulayat karena adanya perbedaan karakteristik dimensi publik yang tidak dimiliki hak Padahal pada kenyataannya dalam masyarakat masih banyak ditemui hak komunal/ milik bersama yang belum diakomodir ketentuan dan kemungkinan pengaturan yang lebih komprehensif sangat terbuka. Hal ini dibuktikan dengan fenomena yang terjadi di Sidoarjo. Meskipun tanah gogol gilir telah dapat disertipikatkan dengan sertipikat hak milik karena dianggap alas hak yang ada adalah gogol tetap, namun dalam praktek penguasaan dan penggunaannya masih tetap dilakukan secara bergilir oleh masyarakat. Kondisi lain ditunjukkan di Ngandagan Purworejo yang menghasilkan kebijakan “landreform lokal” melalui pengambilan sebagain tanah pekulen tetap untuk dijadikan tanah komunal desa dengan penguasaan secara bergilir bagi sumber daya pada tingkat lokal memberikan banyak kemungkinan kemanfaatan sekaligus ketepatan pada aras hulu. Perkembangan pengaturan tentang otonomi desa sebagai satuan pemerintahan terkecil diperkuat dengan lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini tidak semata-mata menempatkan desa dalam kerangka otonomi daerah dan ketatanegaraan Indonesia saja. 40 Maria SW Sumardjono, “Ihwal Hak Komunal Atas Tanah “, Harian Kompas, 6 Juli 2015. 479Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di JawaUU ini diharapkan mampu menjadi pintu masuk bagi pembangunan dan penguatan perekonomian rakyat. Pada tingkat tertentu, dengan bekal UU Desa yang telah ada, desa memiliki otoritas melakukan reforma agraria skala lokal dan penguasaan lahan bagi kemaslahatan Hal ini sesuai dengan logika bahwa desa merupakan sumber penghidupan sebagai tempat tinggal bagi sebagaian besar masyarakat dan sekaligus menjadi tempat beragam faktor produksi modal seperti sumber daya khususnya tanah dan tenaga kerja. Modal yang dimiliki tersebut membutuhkan saluran dan sistem yang baik dengan tetap mempertahankan kearifan lokal yang ada sehingga mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat desa khususnya dan negara umumnya. Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung tanggal 18-10-1958 No. 301 K/Sip/1958 menyebut kan adanya hak penguasaan desa doors-beschikkingsrecht tentang putusan desa perihal penunjukan tanah pekulen. Hal ini menunjukkan adanya kewenangan dan legitimasi yang dimiliki oleh desa untuk menjalankan otonominya dalam mengatur sumberdaya tanahnya. Myrna Savitri menawarkan opsi bagi bentuk hak komunalSatu, tanah komunal itu membentuk sistem kepemilikan berlapis dimana kepemilikan individual/keluarga/kelompok kecil dimung-kinkan ada di dalamnya. Dua, ketika ber-hadapan dengan pihak ketiga, maka tanah komunal itu dilihat sebagai kesatuan properti yang utuh dari anggota komunitas. Properti ini punya sifat khusus yang tidak bisa dialihkan kepada pihak luar secara permanen termasuk penggunaannya sebagai agunan akad kredit yang beresiko beralih kepada pihak luar. Tiga, sebagai hak properti yang utuh maka tanah-tanah komunal tidak dapat disamakan dengan tanah publik/tanah negara melainkan tanah rakyat yang dikuasai dengan hak yang jelas yang diakui dan dilindungi oleh negara. Empat, untuk mendukung perlindungan terhadap tanah komunal maka komunitas lokal perlu diperlakukan sebagai subyek hukum sama halnya dengan perorangan atau badan hal tersebut, berikut skema hak atas tanah yang dapat dipergunakan41 Ahmad Erani Yustika, “Desa, Tanah, dan Pasar”, Harian Kompas, 18 Februari 2016. 42 Myrna Satri, 2012, Mempertanyakan Posisi Sistem Tenurial Lokal Dalam Pembaruan Agraria Di Indonesia Dalam Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan, STPN Press dan Sajogyo Institute, Yogyakarta, hlm. Myrna Satri, 3. Skema Pengaturan Hak Tanah Bagi Tanah PekulenNo. Jenis Hak Keterangan1. Hak Bersama Sertipikat/ kepemilikan atas bidang tanah oleh beberapa orang. Namun kewenangan desa menjadi hilang karena tanah dapat dengan mudah dialihkan kepada orang di luar desa dengan kesepakatan para pemilik Hak Pakai Penggarap terakhir dapat diberikan hak pakai untuk jangka waktu tertentu dan selanjutnya tanah dapat digilirkan dengan hak pakai kepada pihak lain. Namun status utama atas tanah ini apa? Sedangkan desa belum merupakan subjek Hak Pengelolaan Bersifat publik, dimana tanah adalah tanah negara dan dapat ditarik kembali. Dimungkinkan dalam konteks HPL komunitas berlaku atas tanah komunitas sebagai bentuk pengakuan eksistensinya. Kewenangan desa dalam mengatur peruntukan dan penggunaan tanah dan sumber daya termasuk memberikan hak-hak pemanfaatan tanah kepada anggota komunitas dapat dilaksanakan dan memberi kepastian Myrna Satri,43 PenutupTanah pekulen merupakan bentuk hak atas tanah yang yang bersumber dari hukum adat. Hukum agraria nasional yang direpresentasikan melalui ketentuan UUPA telah diproyeksikan untuk menghapuskan adanya dualisme hukum agraria yang ada di Indonesia. Namun, ketentuan konversi yang ditetapkan oleh pemerintah ternyata 480 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481belum mampu sepenuhnya mengakomodasi hak tanah pekulen khususnya yang bersifat bergilir serta memiliki karakteristik komunal. Berdasarkan ketentuan UUPA hak pekulen tetap akan dikonversi menjadi hak milik sedangkan hak pekulen bergilir menjadi hak pakai. Secara historis, losos, dan sosiologis, ketentuan yuridis ini tepat untuk hak pekulen tetap namun membutuhkan kajian lebih lanjut terkait hak pekulen bergilir. Struktur agraria hak pekulen bergilir dapat dilihat dalam karakter, yaitu pemilikannya bersifat bersama dari seluruh warga desa, serta penguasaan dan pemanfaatannya dapat dilakukan secara perseorangan oleh warga desa atas keputusan desa. Pengaturan tanah pekulen dalam struktur hukum agraria Indonesia dapat dilihat dalam asas serta norma dan kaidah hukum UUPA. Hak pekulen memiliki karakter komunalistik religius serta dekat dengan fungsi sosial atas tanah yang diamanatkan UUPA. Kaidah dan norma yang mengaturnya secara tegas termuat dalam ketentuan konversi UUPA yang menempatkannya sebagai salah satu hak atas tanah meskipun belum sepenuhnya tepat mengakomodir. Selayaknya pengaturan tentang konversi hak pekulen bergilir ini mengakomodir nilai-nilai dalam masyarakat sebagai lingkungan hidupnya. Watak komunal yang dimiliki hak pekulen bergilir belum mampu diwadahi dalam konsep hak komunal negara yang membatasi diri pada masyarakat adat, serta hanya ada di wilayah hutan dan perkebunan. Hak pekulen bergilir patut dimasukkan dalam kategori hak komunal dalam lingkungan desa yang kental dengan solidaritas/ kebersamaan, nilai budaya/ tradisi, serta legitimasi kewenangannya dalam kerangka otonomi PUSTAKAA. BukuAass, Svein, 2008, Relevansi Teori Makro Chayanov dalam Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa, Yayasan Obor Indonesia, M., et al., 2008, Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa Pada Abad XIX dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa”, Yayasan Obor Indonesia, Devy Dhian, 2014, Konik Agraria Di Urutsewu, Pendekatan Ekologi Politik, STPN Press, Noer, 2008, “Dari Okupasi Tanah Menuju Pembaruan Agraria Konteks Dan Konsekuensi Dari Serikat Petani Pasundan SPP Di Garut Jawa Barat” Dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa”, Yayasan Obor Indonesia, C., 1963, Agricultural Involution The Process Of Ecological Change In Indonesia, University Of California Press, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Hiroyoshi, 2008, Sistem Pemilikan Tanah Dan Masyarakat Desa Di Jawa Pada Abad XIX Dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa,” Yayasan Obor Indonesia, Ahmad Nashih, et al., 2013, Kondisi Dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan Di Jawa Tengah Dulu Dan Sekarang, STPN Press, Myrna, 2012, Mempertanyakan Posisi Sistem Tenurial Lokal Dalam Pembaruan Agraria Di Indonesia Dalam Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan, STPN Press dan Sajogyo Institute, Nur Aini, 2011, Dari Tanah Sultan 481Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di JawaMenuju Tanah Rakyat Pola Pemilikan, Penguasaan, Dan Sengketa Tanah Di Kota Yogyakarta Setelah Reorganisasi 1917, STPN Press dan Sains, Moh. dan Luth, Ahmad Nashih, 2010, Land Reform Lokal Ala Ngandagan, Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964, STPN Press dan SAINS, BF., 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko Gunung Agung, 1990, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cetakan ke-4, Alumni, 1991, Apanage dan Bekel, Tiara Wacana, Cornelis Van, 2013, Orang Indonesia dan Tanahnya, STPN Press, Kurnia, 2006, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik, Penyimpangan Konversi Hak Tanah di Sumatera Barat, Andalas University Press, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Gunawan, 2008, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa,” Yayasan Obor Indonesia, Artikel KoranSumardjono, Maria SW, “Ihwal Hak Komunal Atas Tanah “, Harian Kompas, 6 Juli Ahmad Erani, “Desa, Tanah, dan Pasar”, Harian Kompas, 18 Februari 2016. ... Pure customary land law has a communalistic concept which embodies cooperation and family spirit Puri & Sulastriyono, 2016 and is filled with a religious atmosphere as is the nature of indigenous peoples themselves. This customary land law is then called customary Rights. ...... Generally, the coverage area is unmeasured in a certain way. For example in the Dayak tribe, there are various ways to determine the size of their territories such as using the sound of gongs and how far it is heard or by the boundaries of particular trees that have been planted by them Puri & Sulastriyono, 2016. ...Introduction to The Problem The rapid flow of globalization has brought indigenous peoples to prolonged horizontal and vertical conflicts. The majority of conflicts triggered by who has the right to own the land and functionalize it. The land that belongs to indigenous peoples and it inherited from generation to generation, suddenly taken by investors and it even supported by the government. The indigenous people are often victimized and forced out from their customary lands. They who try to claim the rights sometimes experience obstacles because of the stronger and dominant government position in the court. One of these conflicts occurred in the Dayak community in Central Borneo Study This study aims to determine the problems experienced by indigenous peoples in Central Borneo Province, as well as to find out the mechanism for establishing a legal protection system in order to provide recognition and strengthening ownership of customary land in the Central Borneo This study uses normative research methods, with statute approaches and conceptual there are serious problems experienced by indigenous people in Central Borneo Province, related to customary land in their territory. However, there are legal safeguards that can be carried out through formal and administrative land recognition.... The term kuli in the region of Bagelen Purworejo is the same as Gogol or sikepie the party who is given authority over the communal land Cahyati, 2014. Pekulen land is a type of customary land that has communal character inherent in village authority Puri & Sulastriyono, 2016. According to Onghokham, the term sikep farmer in the sense that villagers with the right to land have disappeared from the village environment and replaced the word coolie from the word coolie, namely the term British India which means workers without skills Onghokham, 2008. ...Widhiana Hestining PuriPurpose The purpose of this study is to describe the tradition of communalization of pekulen land and the distribution of its use. Methodology This research conducted with empirical legal research those locations in Pituruh Subdistrict, Purworejo Regency, Central Java with the socio-legal approach. Results This research found that the communal mechanism for pekulen land was first developed by the Dutch colonial government by utilizing local customary law to guarantee the availability of labor and agricultural land for land taxes and cultuurstelsel. This model now transformed and has many benefits such distribute the right of land use, protecting the rights of landholders, guaranteeing the protection of land functions, maintaining the integrity of village communities, and so on. The implementation of communalization of pekulen land and distribution of its use is a mechanism of local wisdom that grows and develops by transforming the values of customary law in land regulation. Implications This paper provides a new way of understanding the practice of communalization of land that initiated by the citizens. Pekulen land is a form of land rights originating from customary law which is owned by the village community who are given the right of use to members of the village community to be used for their personal interests. Thus, Land communalization is an alternative policy model that is applied to regulate land ownership in a more organized manner with a strong collectivity bond in a Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah IndonesiaB F SihombingSihombing, BF., 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko Gunung Agung, Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cetakan ke4SubektiSubekti, 1990, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cetakan ke4, Alumni, Indonesia dan TanahnyaCornelis VollenhovenVanVollenhoven, Cornelis Van, 2013, Orang Indonesia dan Tanahnya, STPN Press, Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam "Dua Abad Penguasaan TanahGunawan WiradiWiradi, Gunawan, 2008, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam "Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa," Yayasan Obor Indonesia, Hak Komunal Atas TanahB SumardjonoSw MariaB. Artikel Koran Sumardjono, Maria SW, "Ihwal Hak Komunal Atas Tanah ", Harian Kompas, 6 Juli YustikaEranidesaDan TanahPasarYustika, Ahmad Erani, "Desa, Tanah, dan Pasar", Harian Kompas, 18 Februari dan Bekel, Tiara WacanaSuhartonoSuhartono, 1991, Apanage dan Bekel, Tiara Wacana, Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke MasaGunawan WiradiWiradi, Gunawan, 2008, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam "Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa," Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. B. Artikel Koran Sumardjono, Maria SW, "Ihwal Hak Komunal Atas Tanah ", Harian Kompas, 6 Juli Posisi Sistem Tenurial Lokal Dalam Pembaruan Agraria Di Indonesia Dalam Pembentukan Kebijakan Reforma AgrariaMyrna SafitriSafitri, Myrna, 2012, Mempertanyakan Posisi Sistem Tenurial Lokal Dalam Pembaruan Agraria Di Indonesia Dalam Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007 Abstrak Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakanmomen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatanhampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanamankomersial yang laku di pasar Internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Gunamengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukanrekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politikyang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demikepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesarbesarnyabagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupunyang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untukmemasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek padaperubahan-Perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengahpriyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawaipemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor “darah” geneologis, tapi faktorkemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain,secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga,konsekuensi dari Perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanyaterpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi denganelit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapipengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanahsebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demikepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, danpertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kolonial. Kali ini saya akan memposting aartikel tugas kuliah semester 2 pada mata kuliah struktur masyarakat Jawanmengenai perubahan yang ada di masyarakat Jawa Yuk, langsung saja membaca dan memahami isi artkel dibawah ini Jawa merupakan sebuah pulau yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat tinggi, sehingga tak heran jika berbagai bangsa dari seluruh penjuru dunia sangat antusias untuk datang ke pulau jawa dengan tujuan dapat ikut menikmati hasil pertanian dari tanah yang sangat subur atau sering disebut oleh orang jawa dengan sebuah istilah “gemah ripah loh jinawi”. Di pulau Jawa berbagai jenis tanaman dan tumbuhan dapat ditanam dan mudah untuk ditemukan, hal ini ditentukan oleh tekstur tanah dipulau jawa yang tergolong sangat subur sehingga kekayaan alam yang dimiliki pulau Jawa sangat menarik perhatian bangsa penjajah untuk berusaha ikut menikmati bahkan mereka berkeinginan untuk memilki dan memonopoli semua hasil kekayaan alam yang ada di pulau Jawa. Salah satu bangsa yang ingin menjajah hasil bumi orang jawa yaitu bangsa eropa, kedatangan bangsa eropa di Jawa menyebabkan bertemunya dua kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan Timur dan Barat yang mempunyai struktur sosial berlainan. Akibat pertemuan dua bangsa itu kebudayaan terkena pengaruh kebudayaan Barat yang sangat besar. Bangsa Eropa atau yang sering disebut dengan Kompeni Hindia Timur mula-mula hanya ingin menguasai perdagangan hasil bumi dan bukan politik. Namun dalam upaya mengamankan kepentingan ekonominya, kompeni terlibat dalam kesukaran dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Maka dari itu kompeni mampu menguasai daerah-daerah di sepanjang pesisir utara pulau jawa. Dengan demikian sistem pemerintahan kerajaan sepenuhnya berada ditangan kompeni, yang kemudian bupati tidak lagi dipilih secara langsung oleh raja tapi dipilih oleh kompeni dan penyerahan hasil bumi yang wajib dapat ditagih langsung dari bupati. Penyerahan hasil bumi yang wajib dilaksanakan tersebut diberlakukan secara sistem foedal. Akibat dari adanya sistem ini adalah kesejahteraan rakyat yang rendah. Oleh karena itu, masyarakat dipulau jawa mengalami perubahan-perubahan sosial yang merupakan pengaruh dari adanya pertemuan budaya barat dan timur yang terjadi pada saat itu hingga saat ini pengaruh budaya barat terhadap masyarakat jawa semakin tinggi. Bangsa kompeni menerapkan berbagai monopoli pertanian terhadap masyarakat jawa antara lain “tata bumi” pada saat mas pemerintahan Raffles dari Inggris. Kemudian dalam pemerintahan Van Den Bosch ia menerapkan sistem “tanam paksa” yang menghendaki agar penduduk jawa tetap menjadi petani. Sistem tanam paksa telah membawa pengaruh modernisasi yang mampu mengakibatkan terjadinya perubahan sosial terhadap masyarakat adanya sistem monopoli yang diterapkan oleh bangsa kompeni tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan sosial didalam masyarakat jawa diantaranya yaitu munculnya diferensiasi sosial dan sistem kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi adalah munculnya 1 golongan petani kaya-pemilik tanah lapisan atas, yang berhak mendapatkan tenaga kerja cuma-cuma; 2 petani bebas yang diharuskan kerja wajib; dan 3 golongan masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah. Diferensiasi yang terjadi ini mengakibatkan pola atau sistem ekonomi pertanian masyarakat Jawa juga berubah. Dalam relasi tersebut terdapat saling ketergantungan antara kaum pemilik tanah modal dengan tenaga kerja buruh tani. Para petani dengan modal tanah yang dimiliki membutuhkan tenaga kerja untuk menggarap lahannya. Sedangkan, para petani buruh tergantung pada para pemilik tanah untuk mendapatkan penghasilan dengan menjual tenaga kerjanya. Dengan demikian Jawa mulai memasuki era kapitalisme. Dinamika khas dari kapitalisme adalah persaingan dan perolehan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa mengawali munculnya sistem kapitalisme pertanian yang ada di Jawa. Diferensiasi sosial semakin lebih besar ketika dilaksanakannya sistem tanam paksa. Ketentuan dalam sistem tanam paksa membuat posisi pejabat pedesaan semakin kuat posisinya. Kekuasaan dan pengaruh mereka semakin besar. Seperti diketahui para kepala desa maupun anggota pemerintahan desa lainnya mendapatkan tanah bengkok yang luas dan subur dan dibebaskan dari kerja rodi. Pengertian Perubahan Sosial dikemukakan oleh Gillin dan Gillin yang mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat Soekanto, 2006263. Dari pengertian perubahan sosial yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin ini menunjuk pada dinamika masyarakat dan reaksinya terhadap lingkungan sosialnya baik menyangkut tentang cara ia hidup, kondisi alam, cara ia berkebudayaan, yang berarti dalam penjabaran kali ini aspek sosial tersebut yang menyebabkan perubahan kelas sosial didalam bidang pertanian masyarakat jawa. Perubahan sosial adalah suatu pergeseran dalam ciri kebudayaan dan masyarakat. Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Perubahan sosial pada masa tertentu juga merupakan pengaruh dari peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun atau zaman sebelumnya. Di Jawa sebenarnya yang terjadi adalah proses evolusi pertanian dengan ditandainya diferensiasi sosial yang terjadi. Hal ini nampak dalam pola perekonomian masyarakat yang tradisional-homogen ke bentuk kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi di Jawa juga menjadi penanda adanya perubahan sosial dalam masyarakat Jawa. Modernisasi yang terjadi di Jawa tentu tak lepas dari proses penemuan teknologi pertanian yang membuat proses produksi makin efisien. Modernisasi pertanian di Jawa yang ditampakkan dalam program revolusi hijau, membawa pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat bagi petani yang memiliki banyak tanah karena sasaran dari moderninasi hanya petani kaya yang memiliki tanah. Hal ini semakin memperbesar terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa. Selain itu penciptaan sosial, dalam hal ini kapitalisme, juga terjadi di Jawa. Kapitalisme membuat pola dan sistem pertanian berubah dari sistem tradisional-homogen kebersamaan sosial dan ekonomi ke sistem pemilikan tanah secara pribadi yang memunculkan kelompok golongan petani atas dan proletar petani tak bertanah. Selain membahas perubahan kelas sosial dalam bidang kepemilikan tanah setelah ini penulis juga akan membahas perubahan sosial dalam aspek adat dan sopan santun yang tergambarkan pada penggunaan bahasa jawa dalam masyarakat sopan santun Jawa yang menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung dari tipe interaksi tertentu, memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri. Adat ini berhubungan dengan etika dan tatakrama Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa yang sering didengar dan digunakan oleh masyarakat suku Jawa. Penggunaan bahasa Jawa sangat memperhatikan tingkatan-tingkatan pengguna bahasa Jawa tersebut. Tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa yang tertinggi salah satunya adalah bahasa Jawa Kromo Inggil. Tingkatan ini biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, misalnya seorang anak ke orang tuanya. Bahasa Jawa Kromo Inggil digunakan dengan tujuan untuk menghormati orang yang lebih tua. Namun penggunaan bahasa jawa khususnya bahasa krama inggil telah mengalami perubahan dari tuntutan etika masyarakat jawa, pada sat ini telah banyak ditemukan anak muda yang berkomunikasi tidak mengguanakan bahasa jawa krama inggil dengan orang yang usianya lebih tua. Bahkan pada saat ini jarang sekali anak-anak yang berkomunikasi dengan orang tua mereka menggunakan bahasa krama inggil, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut karena adanya pergeseran nilai yang diajarkan orang tua terhadap anak tersebut. Para orang tua jawa jaman sekarang sudah jarang yang menanamkan nilai adat kesopanan yang sepantasnya dimiliki oleh orang jawa yang penggunaan bahasa krama inggil diterapkan dalam percakapan sehari-hari antara seorang anak dengan orang tua, sehingga nilai tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan yang dimiliki anak tersebut ketika berkomunikasi dengan orang yang memiliki usia lebih tua. Selain itu faktor yang mempengaruhi yaitu adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat yang membawa dampak buruk terhadap anak-anak jaman sekarang yang belum mampu memfilter berbagai informasi yang seharusnya ditiru dan mana yang tidak pantas untuk ditiru. Dalam perubahan sosial yang berkaitan dengan sopan santun khususnya penggunaan bahasa tentunya tidak terlepas dari peran pendidikan formal yang saat ini sebagian besar lembaga pendidikan formal dipulau Jawa telah menerapkan penggunaan bahasa nasional bahkan ada beberapa lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan bahasa internasional yaitu bahasa inggris sebagai bahasa pengantar mereka didalam media pembelajaran. Lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan penggunaan bahasa nasional maupun internasional tersebut biasanya kemudian mengenyampingkan atau bahkan melupakan bahasa daerah mereka yaitu bahasa Jawa. Saat ini sudah banyak ditemukan lembaga pendidikan yang menghilangkan mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa untuk menjadi mata pelajaran yang seharusnya dimengerti dan dipahami oleh para siswa. Apalagi pada saat ini adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan para siswa untuk mempelajari bahasa internasional agar nantinya para pelajar tersebut dapat bersaing didalam pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean atau yang sering kita dengar dengan sebutan MEA. Hal tersebut tentunya akan mendesak berkurangnya penggunaan dan pengajaran bahasa Jawa didalam lingkungan pendidikan formal. Sehingga masyarakat jawa pada saat ini sudah jarang yang menerapkan unggah-ungguh bahasa jawa yang sesuai didalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan Sosial dalam masyarakat Jawa yang selanjutnya adalah adanya perubahan Pola perilaku dan pola pikir yang sudah memiliki perubahan yang cukup signifikan antara pola pikir dan pola perilaku yang dimiliki masyarakat Jawa dahulu dengan masyarakat Jawa saat ini. Faktor yang paling berpengaruh dengan adanya perubahan ini adalah faktor teknologi dan masuknya budaya asing mampu merubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat Jawa khususnya bagi para remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri. Mereka cenderung akan mengikuti berbagai trend yang sedang berkembang tanpa berpikir dampak negatif yang diperoleh dari adanya trend gaya hidup baru tersebut. Anak remaja sekarang memilki pola pikir dan pola perilaku kalau tidak mengikuti mode sekarang adalah remaja kuno, namun pemikiran mereka dan kelakuannya tidak sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Perubahan pola pikir dan perilaku seperti ini sering kita temukan dalam kehidupan remaja yang tinggal didaerah perkotaan atau lebih tepatnya kota metropolitan. Karena pada kota metropolitan memiliki tingkat keberagaman masyarakat atau heterogenitas yang sangat tinggi. Mereka berasal dari berbagai kebudayaan yang berbeda dan pastinya telah memiliki kebiasaan-kebiasaan tersendiri dan telah menjadi pola pikir dan perilaku mereka. Namun kebudayaan tersebut nantinya juga akan mempengaruhi anggota masyarakat lain untuk meniru pola pikir dan perilaku yang menganggap bahwa kebiasaan-kebiasaan yang mereka bawa merupakan trend gaya hidup yang terbaru. Sehingga pola pikir dan perilaku tentang trend gaya hidup akan berkembang sangat cepat mempengaruhi didalam kehidupan masyarakat yang tinggal didaerah perkotaan khususunya masyarakat yang tinggaldi kota metropolitan. Kesimpulan Dari beberapa aspek yang saya ambil contoh untuk menggambarkan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat jawa tersebut,dapat disimpulkan bahwa Perubahan Sosial adalah ketidaksesuaian unsur-unsur yang berbeda yang menghasilkan pola kehidupan yang kurang serasi dan kurang seimbang. Suatu proses perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat khususnya masyarakat jawa terdapat berbagai faktor yang mendorong jalannya perubahan. Faktor-faktor tersebut antara lain Kontak dengan kebudayaan lain. Sistem Pendidikan Formal yang maju Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang Penduduk yang heterogen Sistem terbuka yang memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. kemajuan IPTEK DAFTAR PUSTAKA Sosrodihardjo Soedjito. 1983. Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta Bhratara Karya Aksara Soekanto Soerjono. 2006. Sosiologi Satu Pengantar. Jakarta PT Raja Grafindo Persada

sistem pemilikan tanah di pulau jawa