Nasai: 2654 dan dihasankan oleh Albani dalam Shahih Nasa’i) Secara umum, anda harus membersihkan lahir batin dari semua dosa besar dan dosa kecil. 3.Mengamalkan Ilmu. Ketahuilah bahwa amal adalah buah dari ilmu, barang siapa yang mengetahui namun dia tidak mengamalkan, maka dia telah menyerupai orang yahudi yang Allah menjadikan mereka
Selainkebaikan dari ilmu itu sendiri. Inilah alasanku ingin sedikit berbagi pengalaman tentang pentingnya adab sebelum ilmu untuk menjaga keberkahannya. Pasalnya, kemudahan seorang yang sedang belajar suatu ilmu itu lantaran sikap mereka yang memenuhi adab-adab menuntut ilmu. Sehingga, ilmu yang didapat lebih mudah diterima dan masuk ke
Punpula untuk teman-teman di luar sana, ketahuilah bahwa para Ulama mempelajari akhlak lebih lama sebelum mempelajari ilmu. Ibnul Mubarok berkata, تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.” Ibnu Sirin berkata,
Ilmusebagai amal jariyah. Artinya: "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu, sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do'a anak yang sholeh" (HR. Muslim no. 1631) "Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu" Dari pesan tersebut, dapat kita ketahui sangat penting untuk mempelajari adab
BAGIKAN Adab menurut bahasa adalah kesopanan, tingkah laku yang baik, kehalusan budi dan tata susila. Adab juga berarti pengajaran dan pendidikan yang baik sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “ ( Sesungguhnya Allah telah mendidikku dengan adab yang baik dan jadilah pendidikan adabku istimewa ).”. Islam tak hanya menekan pentingnya
cara membuat kue lapis tepung beras rose brand takaran gelas. Islam mengajarkan, proses belajar tidak hanya menghasilkan insan yang berilmu, tetapi juga berakhlak karimah. Artinya, dalam mencari ilmu, adab harus selalu dipegang teguh dan diamalkan. Menurut Ustaz Mus’tain Nasoha, pentingnya adab berada pada tataran yang mendahului berilmu. Dai muda asal Solo, Jawa Tengah, itu menerangkan, adab dapat dimaknai sebagai kesopanan, sopan santun, atau tata krama yang selaras dengan ajaran Islam. Adab juga berarti kepatutan dalam urusan-urusan agama dan duniawi. Orang yang berkomitmen menjaga adab akan memahami hakikat berilmu. Lelaki yang akrab disapa Gus Musta’in itu memberikan beberapa contoh adab, yakni kesabaran. Menukil Imam Syafii, barangsiapa yang tidak bersabar saat menuntut ilmu, maka hidupnya akan sengsara hingga akhir hayat. Sebaliknya, bersabar dalam mencari ilmu, akan berujung pada kemuliaan di dunia dan akhirat. “Pertama, adab yang harus dimiliki seorang pencari ilmu adalah harus sabar dan sabar ini adalah kunci utama,” kata mubaligh yang lahir di Gerobogan, Jawa Tengah, pada 1992 silam itu. Bagaimana kiat-kiat menjadi seorang pembelajar yang baik sehingga terus konsisten dalam beradab? Seperti apa contoh teladan dari kaum ulama terdahulu mengenai pentingnya adab? Untuk menjawabnya, berikut petikan wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta itu. Perbincangan berlangsung baru-baru ini melalui sambungan telepon. Bagaimana Islam memandang kedudukan pencari ilmu? Mencari ilmu, menurut ajaran Islam, itu hukumnya wajib. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” Kanjeng Nabi SAW juga mengingatkan, untuk menilai apakah seseorang baik atau tidak, lihatlah seperti apa semangatnya dalam belajar. Bila dia semangat, misalnya, datang ke majelis taklim, pada hakikatnya ia telah diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Beliau juga menyatakan, “Thalabul ilmi faridhatun ala kulli muslimin wal muslimah.” Di hadis sahih itu, kalimat yang digunakan ialah faridhatun, bukan faridhun. Huruf ta dalam faridhatun itu adalah ta mubalaghah, yang bermakna sangat'. Itu menunjukkan, mencari ilmu sangat wajib. Kanjeng Nabi SAW jarang-jarang menegaskan seperti itu. Namun, dalam bab ilmu beliau menyatakan sangat wajib. Imam Ahmad bin Ruslan dalam kitab Zubad berkata, berislam itu tak akan benar kecuali dengan ilmu. Kalau orang berislam dan enggan belajar, semua ibadahnya dilakukan tanpa dasar ilmu. Maka amalannya ditolak Allah. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam memilih guru? Syekh Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim telah menulis tentang hal-hal yang harus disiapkan ketika mencari guru. Pertama, seseorang harus duduk di depan guru terlebih dahulu untuk melihat, apakah cocok dengan guru tersebut atau tidak. Jadi, tidak langsung berguru. Kalau kita melihat para ulama zaman silam, mereka duduk-duduk dahulu di majelisnya seorang ulama untuk memastikan kecocokannya. Guru yang cocok itu harus sesuai dengan ilmu yang hendak dicari. Misalnya, kita mau belajar ilmu fikih, maka belajar ke ulama yang ahli fikih. Carilah guru karena ilmunya. Kemudian, sanad ilmu sang guru juga harus jelas. Kalau bisa, carilah guru yang nasabnya bagus. Karena, nasab yang bagus akan menjadi salah satu sebab ilmu kita diberkahi Allah. Kedua, jangan mencari guru karena gelarnya. Carilah guru karena ilmunya. Kemudian, sanad ilmu sang guru juga harus jelas. Kalau bisa, carilah guru yang nasabnya bagus. Karena, nasab yang bagus akan menjadi salah satu sebab ilmu kita diberkahi Allah. Terakhir, carilah guru yang berakhlak baik. Ini sebagaimana dikatakan Hammad bin Abi Sulaiman dalam kitab Ta’lim Muta’allim. Makanya, dalam kitab Hasyiyah Bajuri juga, orang bisa dipanggil “syekh” itu tiga syaratnya berilmu tinggi, berakhlak mulia, dan memiliki pengikut yang baik atau banyak. Mengapa sanad keilmuan itu penting? Dikatakan oleh Imam Abdullah bin Mubarak, bersanad itu salah satu daripada syarat beragama. Barangsiapa yang tidak bersanad dalam beragama, ia akan berbicara sesuai dengan hawa nafsunya sendiri. Makanya, Kanjeng Nabi mengingatkan, barangsiapa yang membaca Alquran, hadis, atau hukum Islam sesuai dengan otaknya sendiri, tanpa disertai ilmu tafsir atau ilmu hadis, maka tempatnya di neraka. Bahkan, Imam Malik bin Anas pernah mengatakan dari Imam Ibnu Sirin, ilmu adalah bagian agama. Kalau orang beragama dan tidak berilmu, maka agamanya tidak sah. Karena itulah, siapapun harus memperhatikan dari mana ilmu itu diperolehnya. Syekh Sufyan ats-Tsauri mengatakan, sanad ibarat pedang atau senjata bagi orang beriman. Kalau Mukmin tidak memiliki senjata, bagaimana bisa memenangkan jihad? Artinya, kalau tidak memiliki sanad, bagaimana dia bisa benar dalam berislam? Maka, tidak hanya harus menuntut ilmu dan berguru. Gurunya pun mesti bersanad sampai Nabi Muhammad SAW. Kalau tidak demikian, seseorang akan cenderung radikal nanti dalam memahami agama -Red. Bagaimana pentingnya adab seorang pembelajar, khususnya terhadap guru? Tentu, adab menjadi penting. Pertama-tama, pencari ilmu memiliki adab, yakni sabar. Kesabaran memang kunci utama. Imam Syafii mengatakan, barangsiapa yang tidak bersabar saat menuntut ilmu, maka hidupnya akan sengsara hingga akhir hayat. Barangsiapa bersabar dalam mencari ilmu, ia akan mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Adab yang kedua, seorang murid harus selalu bersangka baik kepada gurunya. Dikatakan oleh Habib Alwi bin Ali al-Habsyi, barangsiapa orang yang tidak beriktikad, tidak meyakini gurunya baik, maka ia tidak akan mendapatkan kemuliaan dari ilmu yang telah diperolehnya. Ketiga, seorang pencari ilmu harus menyadari, dirinya akan menjadi calon penerus para nabi. Sebab, ulama adalah pewaris para nabi. Maka, hendaknya ia senantiasa menjaga adab, seperti ketika berbicara atau makan. Beradabnya seperti adab Rasulullah SAW. Seorang ahli ilmu harus berusaha terdepan dalam mengikuti akhlak Nabi Muhammad SAW. Lalu, adab berikutnya ialah menghormati gurunya. Penghormatan juga kepada keluarga gurunya, kitab-kitab karya gurunya, serta orang-orang yang lebih tua. Wujudnya bisa beragam. Misal, tidak berjalan di depan gurunya. Berjalan depan guru bisa menjadi salah satu sebab ilmu kurang berkah. Di samping itu, jangan mendahului guru dalam berbicara. Seperti apa keteladanan dari generasi salaf tentang adab sebelum ilmu? Para ulama salaf tidak pernah menyia-nyiakan waktunya. Rutinitasnya selalu bersama dengan ilmu. Misalnya, Imam Syafii. Dirinya paling tidak senang kalau pergi ke tukang cukur. Daripada mencukur rambutnya, katanya, lebih baik mencari ilmu. Kalaupun jadi ke tukang cukur rambut, itu dilakukannya cepat-cepat karena ingin segera lanjut belajar. Bahkan, dalam satu kitab dikatakan, Imam Syafii pernah agak diprotes oleh tukang cukurnya. Kata tukang cukurnya, “Wahai imam, tolong berhenti sebentar. Karena, kalau tidak berhenti, mulut Anda akan terpotong.” Namun, Imam Syafii mengatakan, “Lebih baik lidahku terpotong daripada aku harus satu detik berhenti muraja’ah Alquran.” Contoh lainnya ialah, bapaknya Imam Ibnu Taimiyah. Ia juga pernah menjual barang-barang miliknya hanya untuk membayar seseorang duduk di depan kamar mandinya. Sebab, setiap bapaknya ini masuk ke dalam kamar mandi, ia ingin dari dalam kamar mandi pun tetap mendengarkan ilmu. Jadi, begitu semangatnya para ulama zaman dahulu dalam mencari ilmu. Keteladanan juga tecermin dalam konsistensi mereka yang sangat berhati-hati dalam makan dan minum. Artinya, menerima rezeki hanya dari jalan yang halal serta mengonsumsi yang halal pula. Makanya, para kiai kita juga sangat berhati-hati. Termasuk para pendiri Pondok Pesantren al-Muayyad Solo, Jawa Tengah. Bahkan, pasir yang dibawa ke pondok itu disucikan terlebih dahulu untuk menjaga dari najis. Makanan yang disuguhkan kepada para tukang juga terjamin benar-benar halal. Jangan sampai tercampur dengan perkara-perkara yang haram. Sebab, mengonsumsi yang haram akan menyulitkan diri kita untuk menyerap ilmu-ilmu agama. Apa saja kiat agar para pembelajar bisa konsisten dalam semangat menuntut ilmu? Pertama-tama, pahami hakikat kita sebagai manusia. Dalam bahasa Arab, manusia disebut al-insan. Asal katanya, anisa-ya'nisu dan anasa-ya'nusu. Artinya, makhluk yang selalu rahmah, selalu disiplin. Lalu, tiap manusia diperintahkan untuk beriman, mengikuti petunjuk Nabi Muhammad SAW. Mengapa nama beliau Muhammad? Muhammad itu artinya ialah orang yang banyak pujian. Dipuji karena banyak ilmunya di dunia dan akhirat. Makanya, kita sebagai pengikuti Rasulullah SAW memang harus berilmu. Dalam kitab Ihya Ulum ad-Din juga dijelaskan, suatu kali Rasulullah SAW pernah masuk ke masjid. Lantas, beliau melihat ada majelis zikir dan majelis ilmu. Beliau ternyata memilih majelis ilmu. Tidak boleh kita belajar ilmu karena takut dengan neraka. Tidak boleh juga kita belajar karena terlalu butuh surga. Harus tahu diri. Tujuan kita belajar ilmu adalah tetap harus untuk mencari ridha Allah. Puncak ilmu ialah timbulnya rasa takut kepada Allah. Benarkah demikian? Ciri-ciri orang yang benar-benar berilmu itu adalah takut kepada Allah. Takut di sini bukan berarti takut akan siksa neraka. Bukan pula karena kita butuh surga. Yang terpenting adalah senantiasa takut untuk tidak memanfaatkan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah, dalam upaya meraih ridha-Nya. Karena ibadah harus dengan ilmu, maka takut pula bahwa waktu terlewatkan tanpa bersama dengan belajar atau menuntut ilmu. Tidak boleh kita belajar ilmu karena takut dengan neraka. Tidak boleh juga kita belajar karena terlalu butuh surga. Harus tahu diri. Tujuan kita belajar ilmu adalah tetap harus untuk mencari ridha Allah. Kesan dari Negeri Para Habib “Tuntutlah ilmu hingga ke Negeri Cina.” Perkataan itu tidak bersumber dari hadis. Namun, ada pesan yang cukup dalam dari ungkapan tersebut, yakni perlunya memperluas rihlah keilmuan. Pengembaraan intelektual juga dilakukan Ustaz Musta’in Nasoha. Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta itu tidak hanya menuntut ilmu di dalam, tetapi juga luar negeri. Salah satu negara tempatnya belajar ialah Yaman. Di sana, terdapat salah satu pusat keunggulan yang sangat terkenal di dunia Islam, yaitu Tarim, Hadramaut. Bahkan, daerah tersebut menyandang julukan Negeri Para Habib. Sebab, ada banyak alim ulama yang berasal dari kawasan Yaman tersebut. Sebagian besar di antaranya juga memiliki nasab sampai pada Rasulullah SAW. Di kota para habib itu, pengasuh Majelis Raudlatul Muhibbin Solo tersebut menempuh studi di Fakultas Syariat Universitas Imam asy-Syafi’i. “Banyak ulama di sana kami ambil kitabnya dan sanadnya. Hampir semua kitab besar kami kaji secara talaqi atau langsung,” ujar dai yang akrab disapa Gus Musta’in itu kepada Republika beberapa waktu lalu. Ada kesan yang sulit terlupakan tentang Hadramaut. Menurutnya, kehidupan umat Islam di sana tak lepas dari menuntut ilmu-ilmu agama. Semua orang cenderung sibuk belajar. Suasananya juga sangat harmonis. Sukar menemukan orang yang saling bermusuhan. Penduduk Tarim masyhur akan kelembutan hati, gemar bersedekah terutama kepada para pencari ilmu. “Saya tidak melihat orang di sana itu hidupnya tidak ada manfaatnya. Semua waktu yang ada dimanfaatkan mereka. Hampir semua orang di sana itu berusaha mengamalkan akhlaknya Nabi Muhammad SAW,” katanya. Hampir semua orang di sana itu berusaha mengamalkan akhlaknya Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan Yaman, lanjutnya, bahkan disebut oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis sahih, beliau menerangkan, siapapun yang hendak mencari ilmu-ilmu agama, hendaklah mengadakan perjalanan ke negeri di selatan Jazirah Arab itu. “Kita tidak melihat orang di jalan kecuali membawa kitab. Kita tidak melihat orang pandai besi kecuali dari mulutnya selalu mengalir bacaan-bacaan Alquran,” kenang Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama LBM NU Surakarta itu. Sebelum merantau ke Hadramaut, alumnus S-2 Universitas Islam Kediri itu telah belajar di sejumlah pondok pesantren. Mula-mula, Gus Musta’in menimba ilmu di Pondok Pesantren Miftahul Huda Ki Ageng Tarub. Lembaga yang berlokasi di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, itu diasuh oleh yayasan yang didirikan keluarganya. Pesantren al-Faqih Grobogan dan Pesantren al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta juga menjadi tempatnya menuntut ilmu.
Ilustrasi Adab. Foto Islam, menuntut ilmu adalah salah satu bentuk ibadah. Begitu penting ilmu dalam Islam hingga Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Walaupun begitu, ada hal yang perlu dipelajari terlebih dahulu sebelum ilmu yakni berasal dari bahasa Arab yang artinya kesopanan, kehalusan, dan kebaikan budi pekerti, akhlak. Sedangkan adab menurut Rasulullah SAW adalah pendidikan tentang kebaikan yang merupakan bagian dari buku Adab dan Doa Sehari-Hari untuk Muslim Sejati karya Thoriq Aziz Jayana, kedudukan adab dalam Islam lebih tinggi dari ilmu. Sejumlah ulama pun menyampaikan pendapat ulama Imam Malik mengatakan bahwa, "Pelajarilah adab terlebih dahulu sebelum mempelajari suatu ilmu.” Sebagaimana yang dilakukan Imam Ibnu Mubarak, ia mempelajari adab selama 30 tahun, setelah itu baru mempelajari ilmu selama 20 ulama Syaikh Sholeh Al Ushoimi menuturkan bahwa, “Dengan mempelajari adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit memperhatikan adab, maka ilmu akan menjadi sia-sia.” Dapat disimpulkan dari penuturan kedua ulama tersebut, penting untuk mempelajari adab sebelum ilmu. Sebab, orang yang tak beradab hidupnya tidak diberkahi Allah dan ilmunya juga tidak adab yang bisa diketahui umat Muslim dalam kehidupan sehari-hari seperti adab terhadap kedua orang tua, guru, dan masyarakat. Simak penjelasan selengkapnya di bawah Adab. Foto dalam Kehidupan Sehari-hariMerangkum dari buku Pendidikan Agama Islam Akidah dan Akhlak kelas X karya Thoyib Sah Saputra dan Wahyudin, berikut adab pergaulan sehari-hari sesuai ajaran Contoh Adab terhadap Kedua Orang TuaTidak durhaka kepada kedua orang tuaPatuh kepada kedua orang tua dan selalu mendoakannyaBersyukur sudah diberi keluarga yang utuhMengucapkan kata-kata yang muliaTidak mengucap kata kasar seperti berdecak “ah”Meneruskan berbuat baik kepada kedua orang tua walaupun keduanya sudah meninggal2. Contoh Adab terhadap GuruMengamalkan ilmu yang telah diajarkanMenjaga perilaku ketika di sekolahTidak berkata kasar kepada guru3. Contoh Adab dalam BermasyarakatMengucapkan salam ketika bertemuMemenuhi undangan, jika diundang dalam sebuah acaraMemberikan nasihat ketika dimintaMenjenguk tetangga ketika sakitMengantarkan jenazah tetangga sampai ke kuburLemah lembut dan kasih sayangTidak ikut campur terhadap urusan orang lain4. Contoh Adab Pergaulan Sesama TemanMencintai teman karena AllahSaling menyapa atau menegur ketika bertemuMengajak teman ke arah kebaikanMemberi senyuman ketika bertemuMenolong teman yang kesusahanBersama-sama berjuang bersama mencari ilmu
Oleh Izzuddin Ar Rifqiy Mahasiswa di Jakarta “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh,” Al-A’raaf 7199. “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” An-Nahl 16125. “Dan sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang Agung,” Al-Qalam, 684. BERAPA tahun Allah menyiapkan Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi nabi? Ya, 40 tahun. Yang paling menonjol dalam diri beliau selama 40 tahun tersebut adalah akhlaknya. Sebutan Al-Amin sebagai buktinya. Tapi selama kurun waktu tersebut, Rasulullah bahkan tidak bisa baca tulis. Tapi hal tersebut tidak mengurangi kemuliaan beliau. Siapa yang tak kenal imam Malik, salah satu satu dari ulama 4 madzhab yang pertama membukukan hadits dalam kitabnya al-Muwatta’. Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.” Lihatlah betapa indahnya nasehat sang ibunda kepada anaknya. Bukannya menuntut untuk mencari nilai setinggi-tingginya. Namun malah menjadikan akhlak yang menjadi prioritas utama. Akhlak saat ini menjadi komoditas yang mahal. Karena manusia yang berakhlak mulia pasti akan dihargai dimanapun ia berada. Bukankah kita ingat hadist Nabi, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya,” HR Bukhari 5569. Orang yang baik akhlaknya adalah lentera yang menyala benderang. Dia hangat dan menentramkan, orang-orang suka berada di dekatnya. Karena dia pasti memberi pengaruh positif bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan ilmu itu adalah itu adalah gagang dari lenteranya. Kalau keduanya saling bersinergi, lentera bisa kesana kemari. Lentera dengan dengan gagang punya daya jelajah yang lebih tinggi dengan kegunaan yang lebih banyak. Bisa menyalakan sumber sumber cahaya lainnya. Lilin diseberang sana, sebelumnya tanpa cahaya. Berkat lentera yang punya mobilitas tinggi kemudian berbagi apinya akhirnya lilin bisa menyala dan memberi manfaat bagi sekitarnya. Kemudian lentera bisa melanjutkan perjalannya untuk berbagi. Orang yang berilmu tapi tidak berakhlak baik berarti cuma lentera dengan gagang yang menyala kecil atau sama sekali tidak menyala. Hanya cukup untuk menerangi dirinya sendiri. Saking kecilnya nyala apinya bila dibuka tutupnya, matilah apinya. Tak dapat ia bagikan. Dan orang-orang tidak menerima karena ia tidak memberi manfaat. Hanya berguna bagi dirinya sendiri. Sedangkan tanpa ilmu dan akhlak. Bagai orang berjalan tanpa lentera, hanya menabrak kesana kemari. Yang ada malah kemungkinan daya rusaknya lebih tinggi. Orang-orang berharap ia cukup diam saja ditempatnya. Maka kita jangan tertipu oleh idiom-idiom yang beredar saat ini seperti “Bicara kasar tapi jujur lebih baik dari pada santun bicara tapi mental bejat.” Keduanya tidak benar. Siapa yang menjamin yang berbicara kasar benar-benar jujur? Lalu yang kedua adalah sifat munafik yang harus dijauhi kita semua. Ada pilihan yang lebih baik yaitu santun nan jujur. Saya pernah membaca di sebuah buku tentang pernyataan seorang bule terhadap pentingnya akhlak. Aku lebih khawatir apabila anakku tidak bisa mengantri daripada ia sekadar tak bisa berhitung. Karena untuk mengajarinya mengantri butuh waktu yang lama dan akan lebih berguna baginya kelak di masa depan. Jika sudah demikian, apa yang bisa kita banggakan sebagai warga dari negara muslim terbesar dunia? Pun pula untuk teman-teman di luar sana, ketahuilah bahwa para Ulama mempelajari akhlak lebih lama sebelum mempelajari ilmu. Ibnul Mubarok berkata, تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.” Ibnu Sirin berkata, كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم “Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk adab sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.” Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok, نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث “Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari. Karena perbedaan bukanlah berarti permusuhan. Seperti kata Imam Syafi’i pada sahabatnya Abu Musa “Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara bersahabat meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” Siyar A’lamin Nubala’, 10 16. Wallahu a’lam. []
Semalam saya berdiskusi dengan suami mengenai progres hafalan Faris yang belum nambah-nambah. Mungkin dia bosan dengan metode pembelajaran saya, atau memang saya yang kurang mumpuni mendampinginya belajar. Entahlah, berkecamuk banyak pertanyaan di benak saya kenapa begini kenapa begitu. Saya terlalu menuntutnya mungkin, menggegasnya lebih awal tanpa memperdulikan hal-hal kecil yang sesungguhnya justru itulah yang bisa dia hadiahkan kepada saya saat ini. Seperti bersegera wudhu dan sholat jika sudah terdengar adzan, lebih aware saat bersuci setelah kencing, tidak berbicara saat di dalam kamar mandi, dan beberapa adab baik lainnya yang sudah ia laksanakan. Tetapi saya justru menuntut kekurangannya. Apanya yang salah? Pagi tadi saya lihat rekaman Ustadz Nuzul Dzikri Lc yang judulnya “Ayah Bunda Tolong Bawa Aku Ke Surga”. Dijawab banget semuanya disitu. Tentang kewajiban orang tua membekali anak terlebih dahulu dengan Iman sebelum Al Quran. Karena Iman akan menjadi bekal dikehidupannya sampai ke akhirat. Apakah itu kecerdasannya dalam hal ilmu dunia, ataupun tentang hapalan Al Quran nya yang banyak, tanpa Iman, maka ia sia – sia. Hebat di dunia tanpa iman, menjadikannya tidak selamat di akhirat. Hebat hapalan Al Qurannya tanpa Iman melakukan ketaatan akan menjadikannya seorang munafik. Maka sampaikan kepada anak kita tentang ini ; Abdullah bin Abbas –radhiyallahu anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. Masyaa Allah, mendengar ini rasanya saya baru diingatkan tentang hal mendasar yang justru terlupakan. Dengan itu saja, sudah cukup seorang anak terhindar dari keadaan down saat gagal ujian masuk perguruan tinggi yang ia cita – citakan karena meski ia telah ikhtiar tapi jika itu bukan takdirnya maka tidak akan ia raih. Iapun percaya ada rencana Allah lainnya yang menjadi takdirnya dan itu baik baginya. Tidak akan ada anak yang minder jika keadaannya berbeda dengan teman lainnya. Baik dalam hal harta, keadaan fisik, maupun kecerdasannya. Karena ia tahu, Allah telah berikan sesuai dengan takdirnya. Sebagian kita terlalu menuntut anak untuk pintar disemua mata pelajaran. Sibuk dengan les ini dan itu. Menyampaikan bahwa kamu suatu saat harus jadi orang dengan ilmu kamu. Maka kamu harus pintar. Harus rajin belajar. Ya benar, pintar memang harus. Tapi jika itu untuk dunia, temukan saja satu bakatnya yang bisa menjadi bekal hidupnya. Apakah ia berpotensi menjadi seorang dokter, maka tidak perlu memaksanya pandai juga banyak bahasa asing. Jika dia berbakat dibidang matematika, maka tidak perlu memaksanya pandai desain misalnya. Agar waktunya terfokus pada bidang yang ia minati. Bahwa membekali anak agar siap menghadapi masa depan dengan dengan ilmu paling canggih saat inipun, belum tentu dimasa depan ilmu itu bisa ia pakai. Semua cepat berganti. Bukankah banyak saat ini orang – orang yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya dahulu? Namun dengan iman, apapun itu tak kan jadi masalah. Karena Firman Allah “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” QS. Ath Tholaq 2-3 Lalu mengapa kita masih sibuk dengan persiapan dunianya saja ; Ini asuransi pendidikan, ini asuransi kesehatan, ini tabungan untuk nanti menikah, ini rumah untuk anak – anak, dst. Sampai – sampai kita sibuk dengan pekerjaan dan tak sempat lagi menikmati kebersamaan dengan anak, memberikan mereka nasihat, membekali mereka dengan berbagai rencana akhirat. Sampai lalai membekalinya dengan iman. Bahwa Allah melihatnya, bahwa setiap tindak langkahnya dicatat malaikat, bahwa jika ia kesulitan Allah yang akan menolongnya, jika ia kebingungan Allah pula yang akan menuntunnya. Bagaimana bisa kita marah kepada anak saat nilainya buruk, saat ia membangkang, saat ia tak mau sekolah. Bukan marah karena anak lalai dengan sholatnya, tak peduli dengan pergaulannya. Kita bisa marah saat anak susah bangun pagi untuk berangkat sekolah, tapi tak marah saat anak tidak bangun untuk sholat subuh. Astaghfirullah…. Bukan berapa banyak juz anak kita hapal Al Quran, tapi hatinya hampa dari rasa cinta kepada Allah. Bukan berapa banyak prestasinya ia raih disekolah, tapi seberapa dalam kecintaannya kepada Allah. Menggantungkan hati dan harapan hanya kepada Allah. Bersungguh – sungguh dalam ketaatannya kepada Allah. Jika Iman ada dalam hatinya, profesi apapun yang halal, jadi apapun ia kelak, maka itulah investasi akhirat. Itulah kesuksesan sejati. Agar sekeluarga, bisa berkumpul kembali di SurgaNya Kelak.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Adab Sebelum IlmuOleh Suharni"Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat"Al Hadits Hadits di atas memberikan motivasi pada kita bahwa menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban, bahkan keniscayaan, selama hayat di kandung badan. Tidak ada kata terlambat dalam mempelajari suatu ilmu. Ilmu laksana lentera yang akan menerangi setiap langkah kita dalam menjalani kehidupan. Tanpa ilmu, kita bagaikan seorang buta yang melangkah tak tahu arah dan mudah tersesat, begitu pesan orang bijak. Dengan ilmu seseorang akan dapat meraih bahagia baik di dunia maupun di akhirat sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "barang siapa ingin bahagia di dunia maka dengan ilmu, barang siapa ingin bahagia di akhirat maka dengan ilmu, dan barang siapa ingin bahaga di dunia dan di akhirat maka juga dengan ilmu" Al Hadits. Akan tetapi, ada yang lebih penting dari ilmu yaitu adab atau etika. Berinteraksi dengan orang lain adalah sebuah keniscayaan bagi setiap manusia. Namun, ada tata cara dalam berinteraksi dengan orang lain terlebih dalam hal menuntut ilmu. Amat penting untuk mempelajari adab sebelum mempelajari sebuah ilmu. Dari artikel disebutkan beberapa adab dalam menuntut ilmu, berikut karena Allah SWT. Hal utama yang harus disiapkan dalam menuntut ilmu adalah niat. Menuntut ilmu hendaknya diniatkan karena Allah SWT agar ilmu yang didapatkan bermanfaat dan mendapat keberkahan dari berdoaDoa adalah senjata bagi seorang muslim. Mengawali aktifitas apapun termasuk menuntut ilmu hendaknya diawali dengan berdoa agar diberikan kemudahan dalam menyerap ilmu dan Dalam menuntut ilmu hendaknya bersungguh-sungguh dan selalu antusias. Rasulullah SAW bersabda "man jadda wajada" yang artinya "barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan mendapatkan apa yang di harapkannya".Menjauhi maksiat. Ilmu adalah cahaya, dan cahaya ilmu tidak akan dapat menembus hati yang tertutup dengan maksiat. Maksiat akan membuat otak sulit rendah hati. Seperti padi semakin berisi semakin menunduk, seorang penuntut ilmu hendaklah memiliki sifat rendah hati, selalu merasa fakir dengan ilmu. Banyak kisah orang yang dihinakan oleh Allah karena kesombongan dengan ilmu yang penjelasan. Salah satu adab dalam menuntut ilmu adalah memperhatikan penjelasan yang diberikan oleh seorang guru agar memperoleh pemahaman yang benar terhadap suatu menyimak. Berusaha memahami sebuah ilmu salah satunya dengan cara diam menyimak sehingga penjelasan yang di dengarnya tidak ada yang Adab selanjutnya dalam menuntut ilmu adalah menghafalkannya karena manusia adalah makhluq yang mudah lupa, maka menuliskan dan berusaha untuk menghafal ilmu yang sudah diperoleh. Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan bahwa "ikatlah lmu itu dengan cara menuliskannya"Mengamalkan. Ilmu tidak akan bermanfaat apabila dibiarkan saja mengendap di dalam diri seseorang, maka mengamalkannya menjadi kewajiban seorang muslim. Mengajarkan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda "sampaikanlah ilmumu walau hanya satu ayat". Hadits tersebut mengandung makna bahwa kita mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ilmu kepada orang ingin agar ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat, bukan?. Maka tiada kata berhenti untuk sebuah ilmu dengan mendahulukan memperhatikan adab-adabnya. Lihat Sosbud Selengkapnya
adab sebelum ilmu ilmu sebelum amal